Geohistori Kesultanan Banten
KESULTANAN
BANTEN DALAM PRESPEKTIF GEOHISTORI
MAKALAH
untuk memenuhi tugas matakuliah
Geohistori
yang dibina oleh Bapak
Drs. Slamet Sujud P.J. M.Hum.
Oleh
Deva Afrilianie 109831416513
Fidda Zurika Islamia 109831416515
Innayatul Nur Aini 109831416528
Yenni
Prisca Sari 109831416531
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Pada
abad ke-16 selat Malaka berperan sebagai bandar atau pusat
perdagangan di Nusantara. Setelah Portugis berhasil menguasai Malaka pada tahun
1511, jalur perdagangan dunia mengalami perubahan. Penguasaan Portugis atas
Malaka telah memunculkan kota-kota perdagangan baru di sepanjang pantai Utara Jawa
seperti Banten, Batavia, Gresik, Tuban, dan Surabaya. Alasannya adalah para
pedagang sengaja menghindari pajak masuk yang cukup tinggi yang diberlakukan
oleh Portugis di selat Malaka. Untuk itulah para pedagang mencari daerah
transit baru yang relatif aman dari Portugis, bajak laut maupun ganasnya ombak
lautan. Pantai Utara di Jawa memang terkesan lebih tenang gelombangnya daripada
pantai bagian selatan. Maka dimulailah aktivitas perdagangan di sepanjang
pantai Utara Jawa (Lapian, 2008:
97).
Pelabuhan Banten
merupakan daerah yang cukup dekat dengan selat Malaka dan merupakan daerah
transit yang strategis para pedagang yang datang dari India-Cina maupun
pedagang Eropa yang datang dari Afrika melalui Samudra Pasifik (Sutjiatiningsih, 1995: 97). Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, daerah ini telah menjadi pelabuhan yang terkenal. Hingga
pada akhirnya Sultan Hasanudin berhasil menguasai Banten dan kemudian
didirikanlah sebuah Kesultanan Islam.
Kesultanan Banten
dirintis pendiriannya oleh tiga unsur kekuatan, yaitu kekuatan-kekuatan dari
Cirebon, Demak, dan Banten sendiri dengan pelopornya masing-masing ialah
Susuhunan Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sejak awal abad ke-16
Masehi. Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran islam, kemudian pembentukan
kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526) dan
akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan
yang berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan Banten (Djajaniringrat, 1983: 214).
Sejak perintisannya
kesultanan Banten didukung oleh para pedagang muslim. Mereka berasal dari
berbagai daerah di Nusantara dan luar Nusantara, selain itu juga dari penduduk Banten
sendiri. Itulah sebabnya, dalam perkembangannya, kesultanan Banten tampil
sebagai negara maritim yang mengutamakan kegiatan pelayaran dan perdagangan.
Sedangkan bidang pertanian hanyalah sebagai unsur penunjang berupa pembukaan
lahan sawah yang ditanami padi sejak pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580) dan
pembukaan lahan perkebunan lada (Djajadiningrat, 1983: 214).
Dalam makalah ini
akan membahas kerajaan Banten yang ditinjau dari geohistori yakni bagaimana
wilayah Banten yang berupa daerah pesisir membentuk kebudayaan masyarakat Banten
itu sendiri, sejak masa pra Islam yaitu
sebelum berdiri kesultanan Banten hingga terbentuknya kesultanan Banten.
Kebudayaan yang dimaksud tak hanya kebudayaan fisik yang berupa bangunan atau
benda-benda tetapi juga termasuk didalamnya kesenian, tradisi, bahasa, struktur
masyarakat bahkan agama. Sedangkan untuk menganalisis digunakan beberapa teori
sosial dari Sosiologi dan teori budaya
dari Antropologi sebagai ilmu bantu.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
latar historis munculnya kesultanan Banten?
2. Bagaimanakah
keberadaan kesultanan Banten dilihat dari perspektif Geohistori?
3. Bagaimanakah
pengaruh letak kesultanan Banten terhadap kehidupan masyarakatnya?
1.3. Tujuan
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimanakah latar
historis munculnya kesultanan Banten.
2. Mengetahui keberadaan kesultanan Banten
dilihat dari perspektif Geohistori.
3. Mengetahui pengaruh letak kesultanan Banten
terhadap kehidupan masyarakatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Banten Pra-Islam
Dalam sumber lokal, nama Banten
disebut paling awal dalam naskah Carita Parahiyangan
yang ditulis pada tahun 1580. Dalam naskah ini disebutkan adanya sebuah tempat
yang disebut Wahanten Girang yang dapat dihubungkan dengan nama Banten. Dalam
Tambo Tulangbawang dan Primbon Bayah serta berita Cina hingga abad ke-13 orang
menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili (Lubis, 2003: 25).
Jika melihat letak Banten pada
sebuah peta, maka yang terlihat adalah sebuah ilustrasi pelabuhan ideal buku
teks ilmu geografi. Memang kota itu terletak di ujung dua jalur maritim
internasional, yaitu Selat Malaka dan Selat Sunda, yang bisa diawasi keduanya. Banten
memiliki tempat berlabuh yang cukup besar. Teluknya berukuran 18 km x 10 km, dan daerah perairan ini
sangat tenang karena dilengkapi dengan sejumlah pulau berbagai ukuran yang
melindunginya dari laut lepas sungai yang mengairinya bukan saja membentuk
sebuah pelabuhan alamiah,
tapi juga menjadi suatu jalur komunikasi ke arah lembah pertanian yang merupakan
daerah pedalaman (Guillot, 2008: 66).
Letak Banten memang cukup strategis
yang pertama, berada di jalur dagang Nusantara yang merupakan bagian jalur
dagang Asia dan jalan dagang Dunia. Kedua, merupakan daerah ujung barat Pulau
Jawa. Ketiga, dekat selat Sunda menjadikan kedudukannya strategis. Kegiatan
perdagangan di Nusantara dan Asia serta kedudukan barang dengan rempah-rempah
di pasar internasional makin meningkat seiring dengan berdatangannya para
pedagang Eropa ke wilayah ini. Selat Sunda menjadi pintu masuk utama ke
Nusantara bagian timur lewat pantai barat Sumatera bagi pedagang-pedagang
muslim, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 dan bagi para
pedagang Eropa yang datang dari arah ujung selatan Afrika dan Samudra Hindia. Disamping
itu, pelabuhan Banten pun dilalui oleh kapal-kapal dagang yang datang dari dan
menuju ke arah barat laut melalui Selat Bangka (Sutjiatiningsih, 1995: 97).
Dalam laporan perjalanan Tom Pires (1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan berada di kawasan kerajaan Sunda. Kesaksian Tom Pires itu dapat dijadikan petunjuk bahwa bandar Banten sudah sangat berpengaruh sebelum berdirinya kesultanan Banten. Bisa diduga bahwa Banten telah berdiri sekurang-kurangnya pada pertengahan abad kesepuluh atau bahkan abad ke-7.
Gambar
1.1 Peta Banten dan sekitarnya (Guillot, 2008)
Menurut
berita Tom Pires pada tahun 1513 di Cimanuk sudah dijumpai orang-orang Islam.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, diaspora para pedagang
Muslim terjadi, sebagian dari mereka pindah ke Banten. Keramaian Banten
bertambah, juga karena pedagang Eropa yang datang dari ujung selatan Afrika dan
Samudra Hindia mau tidak mau harus melewati selat Sunda. Disamping itu
pelabuhan Banten pun dilalui oleh kapal-kapal dagang yang datang dari dan
menuju arah Barat Laut melalui selat Bangka (Lubis, 2003: 26)
Tome Pires juga mengatakan bahwa Banten
merupakan bagian dari wilayah kerajaan
Sunda yang Hinduistis dan berupa kota pelabuhan yang letaknya di ujung
barat sehingga merupakan kota pelabuhan
pertama yang dikunjungi Tome Pires dalam
perjalanannya menyusuri pesisir utara Pulau Jawa. Kotanya sendiri telah tertata
secara teratur dan rapi, sehingga dinilai sebagai kota yang baik (Sutjiatiningsih,
1995: 96)
Menurut catatan Barros tentang Banten,
mengenai kedatangan Henrique Leme pada tahun 1522 menghadap Raja Sunda untuk
mengadakan perjanjian, dan peristiwa penguasaan Faletehan atas Banten Girang.
Demikian pula catatan Couto mengenai kedatangan Francisco de Sa ke Sunda pada
tahun 1527 untuk mendirikan benteng seperti yang dijanjikan raja Sunda sebelumnya.
Kedua peristiwa ini ditafsirkan berlangsung di Banten pesisir (pelabuhan Sunda) dan Banten Girang (Bintam,
atau Bata) (Guillot, 2008). Berdasarkan bukti di atas, bisa dikatakan
bahwasannya pusat Banten pada awal pertumbuhannya tidak dibangun di pesisir,
tapi di tempat yang disebut sebagai Banten Girang, letaknya lebih kurang 10 km
ke arah pedalaman di tepian sungai CiBanten. Dan saat itu pula dapat dikatakan
bahwa sebelum islam daerah pesisir Banten sudah merupakan Bandar Internasional.
Gambar
1.2 Peta Banten (Guillot, 2008)
Pembentukan
bandar Banten tidak terlepas dari berjalannya mekanisme perniagaan yang
disebabkan karena berlangsungnya hubungan penawaran dan permintaan komoditi
dalam bentuk eksport maupun import. Sebelum menjadi kesultanan, Banten sudah
menjadi penghasil lada yang penting. Hal itu terungkap dari isi perjanjian yang
dilakukan antara raja Sunda dengan Henrique Leme utusan Raja Portugis. Sebagai
imbalan bantuan Portugis melawan musuhnya orang islam, maka Portugis mendirikan
benteng dan diberi jaminan diantaranya menuju Banten pertama adalah dari Pulau
Aur ke Banten, tempat yang dilalui pelayaran ini antara lain Chang-yao shu (P. Mapor), Lung-ya-ta-shan (G. Daik di P. Lingga), Man-t’ ouhsu (P. Roti), Chi-shu (tujuh pulau) dan Peng-chia shan (G. Bangka, G. menumbing)
sampai di mulut Palembang perahu bisa masuk ke hulu ke Chiu-chiang (surga Palembang). Perjalanan dilanjutkan ke arah
selatan memasuki selat Bangka melalui selat yang sempit antara Tanjung Tapa dan
Tanjung Berani, San-mai shu (P.
Maspari), Kuala Tu-ma-heng (Wai
Tulang Bawang), dan Lin-ma ta (Wai
Seputih). Dilanjutkan melalui Kao-ta-lan-pang
(Wai Sekampung), Nu-sha la
(ketapang), Shih-tan (P. Sumur) dari
sini arah diubah diubah ke tenggara dan setelah 7 jam kemudian sampai di Shun-t’a (Sunda) (Mills 1984: 127)
berarti pelayaran ini dilakukan dengan menelusuri pantai Timur Sumatera (Sutjiatiningsih, 1995: 91)
Dari penjelasan di atas sesuai dengan apa yang disebut dengan ekologi budaya. Suatu ciri dalam ekologi budaya adalah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran: pertama, sehubungan dengan cara sistem budaya beradaptasi dengan lingkungan totalnya, dan kedua sebagai konsekuensi dari adaptasi sistemik itu perhatian terhadap cara-cara institusi dalam sesuatu budaya beradaptasi atau saling menyesuaikan diri (Kaplan & Manners, 2002:102). Ekologi budaya menyatakan bahwa dipentingkannya proses-proses adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan, pemeliharaan dan transformasi berbagai konfigurasi budaya. Dalam hal ini tentu saja dikaitkan dengan topografi Banten dan letak geografianya. Maka, yang terjadi adalah dihasilkannya sebuah budaya pesisir, yang mana menjadikannya sebagai pelabuhan.
2.2. Letak Kesultanan Banten
Perkembangan selanjutnya dari kota Banten
berlangsung di pesisir, ditandai dengan perubahan pemerintahan dan keagamaan
islam. Hasanudin berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (Banten
Girang) pada tahun 1525. Kemudian atas petunjuk sunan Gunung jati, Hasanudin memindahkan
pusat pemerintahan Banten yang tadinya berada di pedalaman Banten Girang (3 km
dari kota Serang) ke dekat pelabuhan Banten. Hal ini terjadi pada tanggal 1
Muharram tahun 933 H atau 8 Oktober 1526.
Dalam pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, sunan
Gunung Jati menentukan posisi dalem, benteng, pasar, dan alun-alun yang harus
dibangun di dekat kuala sungai Banten yang kemudian diberi nama Surosowan (Lubis, 2003: 26-27). Pemilihan
Surosowan menjadi ibu kota kesultanan Banten tampaknya didasarkan pada
pertimbangan antara lain karena Surosowan lebih mudah dikembangkan sebagai
pusat perdagangan.
Gambar
1.3 tata kota Banten pada akhir abad XVI (Lapian, 2008) Setalah
Banten menjadi kerajaan islam dan ibukotanya pindah ke dekat pesisir yaitu ke
Surosowan. Bandar Banten makin meningkat perkembangannya sebagai salah satu
bandar amat penting dalam jalur pelayaran dan perdagangan antar kerajaan di
Indonesia dan sekitarnya, terutama dengan bangsa-bangsa dari berbagai negara di
Asia dan Eropa bahkan di asia bagian timur. Faktor yang mendorong
perkembangannya ialah Banten bukan lagi sebagai daerah bawahan dari Kerajaan
Sunda, tapi justru merupakan kerajaan Islam dengan ibukotanya dan membawahi daerah-daerah
lainnya seperti Lampung, Kalapa. Surasowan atau juga umumnya disebut Banten
mempunyai fungsi sebagai ibukota kerajaan tempat pusat kekuasaan, Banten juga
sebagai city-state, sebagai kota bandar (Sutjiatiningsih, 1995: 108). Ketika sudah
menjadi pusat Kesultanan Banten, mulai dibangun kota. Gambaran tentang
kesultanan dan tata kota sudah bisa dikatakan sebagai kota yang ideal. Dimana
tata kota yang dibangun mengacu pada konsep tata kota masyarakat islam.
Beberapa gambaran tentang Kasultanan Banten yakni seperti apa yang dikatakan (Djajadiningrat,1983:84)
sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di
Jawa, sejajar dengan Malaka. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah
teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa.
Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk ke dalam ia lebih
panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, di
mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada
sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu
kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu
ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak
tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua
tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di
tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan
kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari.
Surosowan Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya
terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang
digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat
alun-alun didirikan sebuah mesjid agung. Selain itu, Menurut (Guillot, 2008) menggambarkan tentang kondisi alam yang sangat menguntungkan untuk Banten, bahwasannya Sungai Cibanten yang berasal dari Gunung Karang, sekitar 30 km di selatan terbagi menjadi dua sebelum mengalir ke laut. Kedua muara sungai ini membentuk dua pelabuhan, yaitu internasional di sebelah barat dan pelabuhan lokal yang disebut Karangantu. Dengan demikina kota yang terbentang di kedua tepi sungai tersebut terbagi menjadi tiga bagian yakni kota yang berada di tengah delta, yang merupakan pusat kota. Di sebelah barat terdapat kawasan orang tionghoa yang begitu besar sehingga disebut sebagai pecinan. Dan di sebelah timur terdapat pasar besar dan perkampungan. Terdapat perkampungan petani di sebelah selatan di sepanjang 10 km tepi sungai ke hulu sampai ke daerah setengah kota setengah kampung di sekitar ibukota lama, yaitu Banten Girang. Menurut (Lubis, 2003: 28) sebuah sungai yang membagi kota Banten menjadi dua bagian itu dapat dilayari dengan perahu jenis jung dan galen. Pada satu tepi sungai berjejer benteng-benteng yang terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan meriam. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Disampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap yang disebut Srimanganti yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan masjid Agung. Kedudukan
penguasa setempat ditunjang oleh kaum bangsawan, yang mempunyai kekuatan lokal
sedangkan administrasi pelabuhan, perkapalan, dan perniagaan diurus oleh
Syahbandar. Kegiatan transaksi di pagi hari misalnya dilakukan di sebelah timur
kota di luar pintu gerbang dengan komoditi barang dagangan adalah barang
dagangan ekspor ke kawasan Asia seperti keramik, rempah-rempah, perhiasan
mutiara dll. Bagian selatan kota merupakan tempat tinggal para saudagar Cina
(Lubis, 2003: 31) Pada masa
pemerintahan Maulana Yusuf, sektor pertanian berkembang pesat dan meluas hingga
melewati daerah Serang sekarang, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi
sawah-sawah tersebut dibuat terusan irigasi dan bendungan. Danau (buatan) Tasikardi
merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk kota,
sekaligus sebagai sumber pengairan bagi daerah pesawahan di
sekitar kota .Sistem filtrasi air dengan metode pengendapan di
Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih merupakan bukti majunya teknologi
pengelolaan air pada masa tersebut. Pada masa Maulana Yusuf memerintah,
perdagangan Banten sudah sangat maju dan Banten bisa dianggap sebagai
sebuah kota pelabuhan emporium, tempat barang-barang dagangan dari
berbagai penjuru dunia digudangkan dan kemudian didistribusikan. Tahun 1620 dapat diketahui bahwa di sebelah kanan kota Banten terdapat wilayah pemukiman pedagang yang terdiri atas orang-orang asing, terutama Cina. Disebelah kiri terdapat pasar yang lebih besar, tempat para pedagang asing melakukan transaksi jual beli (perdagangan internasional) sementara itu bersebelahan dengan pasar tersebut terdapat perkampungan para pengrajin atau biasanya disebut artisan. Pada bagian paling dalam yaitu keraton Banten dikelilingi oleh Benteng lengkap dengan gardu-gardu jaga. Dalam lingkungan kota keraton terdapat istana dan paseban serta pasar di sebelah utara. Sementara di sebelah paseban terdapat masjid, sementara di sebelah kiri keraton terdapat bangunan-bangunan kerajaan untuk menyimpan senjata, mesiu dan sebagainya. Selanjutnya dengan jarak yang saling berjauhan adalah kediaman para bangsawan yang dikelilingi perumahan penduduk yang dikelilingi perumahan penduduk. Adapun dari masing-masing tempat tersebut dapat dijelaskan menurut fungsinya sebagai berikut: a. Keraton Surosowan juga merupakan tempat untuk untuk melaksanakan industri logam, meliputi pelumeran, peleburan, pengecoran dan penempaan baik perunggu, besi, bahkan emas(untuk mata uang). b. Sukadiri merupakan salah satu tempat kegiatan industri logam dan tembikar. Sukadiri meliputi kepandean (logam) dan pajantran (industri tenun) c. Panjunan merupakan tempat kegiatan industri tembikar sekaligus tempat bermukim para pengrajin tembikar dan nelayan. d. Jembatan Rante juga merupakan areal industri perunggu dan besi. e. Penjaringan merupakan tempat pertukangan jaring. f. Pamarican merupakan salah satu tempat penyimpanan dan pengolahan rempah-rempah. g. Pabean merupakan areal pemukiman sekaligus tempat pergudangan kerami dan tempat penarikan cukai h. Pacinan merupakan tempat pemukiman ras Cina dengan aktivitas bidang jasa, terutama perdagangan. i. Karangatu menjadi tempat pemukiman orang-orang asing sekaligus pelabuhan, pasar dan pusat aktivitas nelayan. j. Kagongan tempat pembuatan benda-benda logam terutama gong. k. Daerah sepanjang aliran sungai Cibanten yang menghasilkan kelapa, sayur dan padi. Urgensi dari keberadaan latar
geografis inilah yang menjadikan Kesultanan Banten memilih lokasi yang tepat
untuk meletakkan pusat kotanya. Yakni dilihat dari potensi alamnya. Sebagaiman dari
kajian geohistori dimana lingkungan geografis dipandang sebagai salah satu
faktor penentu pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan. Syarat utama
untuk melahirkan kebudayaan adalah penguasaan manusia atas lingkungan yang
terdiri atas tanah, udara, air, hutan, perumputan dan topografi wilayah
(Daldjoeni, 1982:35). Wujud dari penguasaan tersebut adalah adaptasi manusia
terhadap perubahan lingkungan alam. Setiap aksi yang berasal dari lingkungan di
luar manusia akan menimbulkan suatu readaptasi dari dalam diri manusia, yang
disebut dengan internal environment. Inilah yang disebut Toynbee dalam teorinya
Challenge and Respons. Bisa dijelaskan keterkaitan teori
tersebut seperti ini, bahwasannya adanya kebutuhan perdagangan baik itu dari
lokal maupun internasional menyebabkan
munculnya kota pelabuhan sebagai transit para pelayar dan pedagang yang
menggunakan kapal-kapal. Oleh karena itu, hal yang terjadi adalah Kesultanan Banten
memanfaatkan keadaan itu untuk menopang kerajaannya. 2.3 Pengaruh Letak Kerajaan Banten Terhadap Kehidupan Masyarakat Gambaran bahwa kota Banten awal mulai tumbuh sekitar abad ke XI/XII. Ketika itu di Banten diduga sudah menjadi pemukiman urban yang penting, yang dilengkapi dengan parit dan benteng tanah. Masyarakat dalam pemukiman itu melakukan kegiatan kerajinan, dari pakaian sampai tembikar, peleburan besi dari perunggu, perhiasan emas, dan manik. Keramik yang ditemukan menunjukkan bahwa hubungan dengan Cina dan daerah di Asia Tenggara lainnya sudah terjalin. Pasar merupakan bagian penting dari suatu kota pelabuhan dimana penduduk dan kerajaanya memiliki kecenderungan hidup dari hasil perdagangan tapi bukan dari pertanian. Fungsi pasar di kota-kota pelabuhan besar baik di pusat kerajaan maupun bukan yang dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing dari berbagai negeri, selain untuk melengkapi perdagangan lokal juga dimaksudkan untuk perdagangan internasional. Dan Banten termasuk kerajaan Islam yang memiliki pasar. Pasar-pasar yang terdapat di kota-kota pusat kerajaan merupakan salah satu sumber penghasilan bagi raja tau penguasa lainnya (Kartodirjo, 1975:214).
Keikutsertaan
penguasa dalam soal perdagangan dapat dimaksdukan bahwa hal itu merupakan
kesempatan untuk mendapatkan keuntungan materi, mulai dari uang untuk pasukan,
biaya perlindungan pedagang-pedagang, tarif-tarif pasar dan cukai dari proses
hukum. Namun, menurut Hohn Hieks (dalam Kartodirjo, 1975: 215) bahwa campur
tangan pemerintahan bukan untuk mendapatkan keuntungan materi saja tetapi juga
dimaksdukan untuk pengawasan politik dan perlindungan hak milik serta
perlindungan kontrak-kontrak di dalam pasar. Maka dengan begitu jelas ada
hubungan timbal balik antara pihak penjual dan pembeli dengan pihak penguasa.
Salah satu buktinya adalah berita Cina dari tahun 1618, bahwa di Banten raja
setiap hari menarik cukai dari kewajiban-kewajiban pasar. Untuk penyelenggaraan pasar di Banten
dilakukan setiap hari mengingat bahwa Banten sendiri merupakan kota pelabuhan
internasional. Lodewycksz (dalam Kartodirjo, 1975: 218) memberikan gambaran
mengenai pasar di kota Banten sebagai berikut: di pasar sebelah Timur kota
(Karangantu) baik pagi maupun siang terdapat pedagang-pedagang dari berbagai
bangsa seperti Portugis, Arab, Turki, Cina Quillin (Keling), Pegu, Malaya,
Bengal, Gujarat, Malabar, Abesinia, dan pedagang dari berbagai tempat di
Indonesia melakukan perdagangan. Kemudian untuk pasar kedua yang dikatakan
terdapat di Paseban dimana segala keperluan hidup untuk dijual, penyelenggaraan
waktu pasar itu terbuka hingga siang bahkan selama sehari. Setelah siang hari
terdapat pula pasar di kampung Cina (Pacinan). Berita Cina dari Tung Hsi Yang
K’au (1618) juga memberikan gambaran pula mengenai pasar di Banten. Dikatakan
bahwa untuk keperluan perdagangan, raja telah menunjuk dua tempat di luar kota
dimana dibuatkan toko-toko. Pada pagi hari, setiap orang dapat pergi ke pasar
dan kemudian pada petang hari harus segera dihentikan. Raja memungut cukai
pasari itu setiap hari (Kartodirjo, 1975: 219). Untuk
barang perdagangan yang diperjualbelikan
oleh Lodewycksz (1596) ada berbagai macam. Untuk barang-barang yang
diperdagangkan oleh orang-orang Cina di pasar Banten adalah macam-macam sutra,
sutra, beludru-beludru, satin, benang mas, piring-piring porselen, dan
lain-lain. Soekmono (1981:58)
menyatakan bahwa setiap pedagang yang mau membeli atau menjual lada, tentu akan
ke Banten. Banten merupakan pusat perdagangan lada baik dari Banten sendiri
maupun lada dari Lampung serta perdagangan cengkeh dan pala dari Maluku. Ketika
Belanda datang ke Banten sudah menjadi bandar perdagangan yang penting. Dalam
buku harian mendapat gambaran tentang situasi kota, pusat perdagangan,
masyarakat, pasar, dan produk maupun harga, menuliskan dengan cermat apa yang
dilihatnya di kota Banten menggambarkan situasi bandar. Dituliskan bahwa kota Banten
terdapat tiga pasar sehari-hari tempat mereka menjual semua barang. Pasar yang
pertama dilukiskan pada sebuah alun-alun disebelah timur dari kota. Pada pagi
hari salah satu pemandangan yang dapat dilihat disana adalah pedagang dari
berebagai bangsa seperti Portugis, Arab, Turki, Cina, Quilin, Pegu, Melayu,
Bengal, Gujarat, Malabar, Abesenia, dan India melakukan perdagangan. Pasar
kedua, Pabean yang menjual semua kebutuhan. Dan yang ketiga, pasar di pecinan
yang diadakan sebelum atau setelah pasar lain diselenggarakan (Rouffaer dan
Ijzerman dalam Sutjiatiningsih, 1995: 90) Komoditi
utama kerajaan Banten ialah lada (putih maupun hitam) yang memang tumbuh subur
di pulau Jawa bagian barat. Stockdale dalam bukunya yang berjudul Eksotisme Jawa, Ragam Kehidupan dan
Kebudayaan Masyarakat Jawa (2010:22) menyatakan bahwa kerajaan Banten
dengan daerah Lampung setiap tahunnya bisa memberi enam juta pound lada. Jenis
lada ini dianggap sebagai yang terbaik kedua setelah lada pantai Malabar. Dalam
rangka untuk memisahkan lada kualitas pertama dan kualitas kedua digunakan alat
yang menurut buku Stockdale adalah harp.
Saringan atau harp ini merupakan suatu kerangka yang
memanjang dengan bagian bawah terdiri atas kawat besi yang dianyam rapat
sehingga butiran-butiran lada tidak bisa melaluinya. Alat ini diletakkan miring
dan lada yang tersortir akan bergulir sepanjang permukaan saringan. Penduduk Banten mengikuti permintaan lada di
pasar, jika permintaan naik maka penduduk akan lebih banyak menanam lada.
Namun, jika permintaan menurun maka penduduk lebih memilih menanam bahan
makanan. Dan ketika Belanda sempat mengadakan blokade, penduduk mulai menanam
padi lagi. Kemudian juga mulai menanam gula karena gula dibeli oleh orang-orang
Inggris yang tinggal di Banten (Kartodirjo, 1975:56). Dari Anyer ke titik Banten, secara
umum keadaan pedalaman wilayah ini terlihat bergunung-gunung, sementara pada
sisi pantainya lebih datar. Dari titik yang paling utara dari Jawa ini tanah
melandai ke arah tenggara dan menjadi suatu teluk yang dalam; dan pada titik
terjauh dari teluk itu terletaklah kota Banten ( Stockdale, 2010: 8). Dari
keterangan ini diidentifikasi bahwa pelabuhan Banten merupakan daerah teluk
yang cukup aman dari terpaan ombak ganas sehingga cocok digunakan untuk
pelabuhan dagang. Disamping itu, pelabuhan Banten dihubungkan oleh sungai yang mengalir
hingga pedalaman. Hal ini memudahkan proses distribusi komoditi dari pedalaman
ke wilayah pesisir dan sebaliknya. Lalu lintas seperti ini, memungkinkan
dibuatnya suatu alat transportasi berupa perahu kecil yang bisa melintasi
sungai-sungai yang membelah Banten. Perahu yang dimaksud adalah perahu lesung kecil yang bisa berlayar dengan sangat cepatnya, suatu hal yang belum pernah
dilihat oleh orang-orang Belanda tersebut (Lapian, 2008:32).. Menurut A.B. Lapian (2008: 95) ramai
tidaknya pelabuhan tergantung dari berbagai
faktor diantaranya yang penting sekali adalah faktor ekologi. Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh
tetapi tempat bagi kapal untuk berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar,
angin, dan arus yang kuat. Tempat yang paling baik untuk berlabuh adalah pada
sebuah sungai, agak jauh ke dalam. Namun, dalam hal ini sungai membatasi
perkembangan pelabuhan yang bersangkutan. Oleh sebab itu, banyak pelabuhan
terletak di muara yang agak terbuka, atau meskipun kurang terlindung---di dalam
sebuah teluk. Deskripsi tentang ciri pelabuhan yang baik ini sangat cocok
dengan kondisi geografi wilayah Banten. Letaknya yang cukup strategis
sebagai pelabuhan dagang yang ramai sehingga diperlukan suatu ketahanan militer
laut yang cukup kuat. Untuk patroli kelautan, kerajaan mempunyai dua jenis
kapal yakni perahu yang mempunyai cadik dan perahu yang tidak bercadik. Mereka
ini bertugas untuk menjaga keamanan di laut, juga untuk mencegah apabila ada
barang-barang yang keluar tanpa membayar cukai. Kapal-kapal ini mempunyai atap
seperti kapal-kapal yang dipakai untuk bersenang-senang (Lapian, 2008:31).
Sedangkan untuk ekspedisi ke luar, Banten mempunyai jung (Iunco atau Joncken) dengan layar kecilnya di depan
atau kadang-kadang juga tiang agung dan dua tiang lainnya. Kapal jung adalah
jenis kapal papan bukan papan lesung. Dari haluan sampai ke belakang terdapat
geladak yang ditutup dengan atap untuk berteduh terhadap matahari, hujan dan
embun. Di bagian belakang terdapat anjungan untuk nahkoda dan bagian bawah
ruangnya dibagi-bagi dalam petak-petak untuk tempat barang. Implikasi dari pelabuhan Banten yang
strategis adalah ramainya para pedagang yang datang dari Cina, Arab, Persia dan
Eropa yang datang untuk berdagang. Konsekuensinya adalah terjadinya akulturasi
budaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Akulturasi budaya ini
menyangkut seluruh aspek kehidupan termasuk didalamnya teknologi. Teknologi
perkapalan di kerajaan Banten mendapat pengaruh dari teknologi kapal Arab, Cina
dan Eropa, khususnya untuk jenis kapal papan yang mengalami modifikasi. Contoh
pengaruh Eropa dalam kapal kerajaan Banten adalah kapal untuk patroli laut yang
memiliki atap di bagian dek kapal seperti kapal Speelbarken (kapal untuk bersenang-senang) milik orang Belanda.
Contoh lain adalah jenis perahu jung
yang lebih familiar untuk kapal orang-orang Cina. Dari penjelasan mengenai latar atau
letak geografis menjadi amat penting peranannya karena ia mampu mempengaruhi
dan mengubah seluruh aspek kehidupan masyarakat. Contohnya adalah perpindahan
pusat kerajaan Banten dari pedalaman ke daerah pesisir mengakibatkan perubahan
mata pencaharian penduduk Banten yang sebelumnya menjadi petani kemudian
berubah menjadi nelayan, pedagang, kuli angkut pelabuhan, penerjemah atau ahli
navigasi bagi pedagang asing dll. Aktivitas di sekitar pelabuhan yang banyak
melibatkan orang-orang baru dari berbagai wilayah di Nusantara bahkan dunia
juga turut mengubah struktur sosial, budaya, tradisi, bahkan agama masyarakat
setempat. Inilah yang kemudian menurut Durkheim disebut sebagai struktural
fungsional. Menurut teori ini masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi
pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain
(fungsional terhadap struktur sosial
masyarakat). Asumsi dasarnya, semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Teknologi dan ilmu ekonomi Umumnya oleh para ekolog kultural cenderung menekankan dalam analisis mereka terhadap adaptasi budaya, karena dalam segi-segi budaya itulah kelihatan jelas perbedaan diantara budaya-budaya disamping perbedaan dari waktu ke waktu di dalam sesuatu budaya (Kaplan & Manners, 2002:102). Teknologi adalah wujud adaptasi manusia untuk menaklukkan alam dalam rangka untuk mempertahankan dirinnya (survival). Contohnya ialah konstruksi dari perahu jung yang mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri, sehingga mampu digunakan untuk melintasi sungi-sungai yang melintasi wilayah kerajaan Banten. Ilmu ekonomi yang dimaksud disini adalah aktivitas ekonomi masyarakat. Hal ini dapat dikaitkan dengan aktivitas ekonomi masyarakat Banten yang beorientasi pada perdagangan dan ekonomi maritim. |
Komentar
Posting Komentar