ORDE BARU

 

PEMBEREDELAN PERS SEBAGAI SUATU CERMINAN PEMERINTAHAN ORDE BARU YANG OTORITER

Oleh: Fidda Zurika Islamia, Innayatul Nur aini, Deva Afrliani, Anitaqul Karimah[1]

 

PENDAHULUAN

            Setelah tumbangnya kekuasaan Soekarno, digantikan Soeharto ke tampuk kekuasaan Indonesia. kemunculan Orde Baru berseberangan dengan Orde Lama merupakan jawaban atas konflik elite politik nasional. Yang membedakan keduanya adalah adanya dominasi sipil dalam struktur pemerintahan Orde Lama, sedangkan dalam Orde Baru, pemerintahan didominasi oleh kalangan militer. Berbeda dengan Orde Lama yang cenderung hanya menekankan dan menjaga aspek perimbangan politik dan melalaikan tugas pembangunan ekonomi, pemerintah Orde Baru justru lebih menekankan kebijakannya pada pembangunan aspek ekonomi sekaligus stabilitas politik.

             Pada awal orde baru ini masyarakat menaruh harapan besar terhadap kepemimpinan Soeharto mengenai kebabasan atau demokratisasi. Banyak kaum cendekiawan mengadakan berbagai kegiatan diskusi tentang masa depan Indonesia dan masalah hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi tidak berlangsung lama, karena nyatanya beberapa tahun setelahnya golongan militer berangsur-angsur mengambil alih pimpinan. HAM yang seolah-olah dijunjung tinggi pada awal pemerintahan Orde Baru malah sama sekali tidak mendapat kebebasan pada akhirnya.

            Hak berpendapat misalnya yang dapat termuat pada surat kabar, sangat sulit untuk diterbitkan. Terjadi pengekangan terhadap kebebasan pers, banyak pemberedelan dengan alasan mengancam stabilitas politik. Sehingga muncul pertanyaan berkenaan dengan sebutan pers yang bebas dan bertanggung jawab, pers yang bebas bagaimana? Dan harus dipertanggungjawabkan dengan cara apa? Jika untuk menerbitkannya pun sangat susah. Sehingga peraturan-peraturan yang telah dibuat melalui UU ketentuan pers terlihat jelas hanya berisi kebohongan belaka, dan juga secara otomatis tidak sesuai dengan kenyataannya, selain itu juga dapat dilihat dalam UUD 1945 pada pasal 28.

            Pers disebut-sebut oleh presiden Sukarno sebagai alat revolusi, bertangguang jawab untuk memompa semangat dan menggerakkan pendapat publik. Pada masa Orde lama, pers terus berkembang dan hidup. Namun, dengan terjadinya transisi pemerintahan telah mengubah kehidupan pers. Pemerintahan Orde Baru memangkas retorika revolusioner[2]. Dalam artikel ini akan dibahas tentang bagaimana keadaan pers di masa orde baru yang sangat ketat, dengan rezim penguasa yang mampu melakukan kesewenang-wenangan. Dalam pembahasan hal utama yang dibahas adalah tentang Orde Baru itu sendiri, dalam hal ini lingkup yang dibahas seputar awal rezi Orde Baru sebagai pembaharuan terhadap Orde lama yakni kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang kemudian dikeluarkannya konsep trilogi pembangunan sebagai strategi penguatan. Yang salah satunya tentang stabilitas politik,  dalam hal ini lebih dikhususkan berdampak pada adanya peraturan tentang ketentuan pers.             Pada selanjutnya akan dibahas tentang keadaan pers itu sendiri, bagaimana aksi-aksi pemberedelan dilakukan. Kemudian yang terakhir adalah menjelaskan tentang refleksi peranan pers dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

PEMBAHASAN

Sekilas Tentang Orde Baru

            Peralihan Orde Lama ke Orde baru dibatasi dengan kejadian penting yaitu terjadinya G30S/PKI (GESTAPU) yang menyebabkan keluarnya supersemar. Secara tidak langsung dianggap pemerintahan masa Orde Lama telah usai. Disebut dengan masa Orde Baru, hal tersebut sesuai dengan tujuan yakni melakukan koreksi total atas kesalahan, kegagalan, dan keburukan pada masa Orde Lama yang terjadi banyak penyelewengan dan penyimpangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan ketentuan-ketentuan UUD 1945 dengan kembali pada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

            Dalam upaya melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, Orde Baru melancarkan strategi dengan sebutan Trilogi Pembangunan[3] yakni pertama terciptanya stabilitas politik yang mantap, yang memungkinkan kelangsungan jalannya pembangunan. Kedua pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketiga pemerataan hasil pembangunan untuk memenuhi prinsip keadilan sosial.

            Dari trilogi pembangunan tersebut, dilakukan langkah-langkah mewujudkan stabilitas politik antara lain adalah pertama memberi peluang kekuatan politik yang berlawanan dengan Orde Lama untuk bisa berperan kembali. Kedua, peran pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/ABRI yang dianggap sangat strategis baik dari aspek politis maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan. Konsep “monoloyalitas” diperkenalkan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintah, untuk itu perlu disertai loyalitas orientasi politik terhadap kekuatan yang menjamin kelangsungan Orde Baru, yaitu golongan karya. PNS menjadi jalur A Golkar, TNI/ABRI menjadi jalur B Golkar, dengan taktik seperti itu maka Golkar berhasil memenangkan pemilihan umum 1971.

            Ketiga, penyederhanaan partai politik, konsep tersebut digunakan untuk mengurangi jumlah partai. Dengan begitu maka terbentuk PPP dan PDI, dua partai dan Golongan Karya yang menjadi peserta pemilu tahun 1977, dan Golkar pun yang memenangkan pemilu tersebut. Keempat, susunan MPR, sebagai lembaga negara tertinggi yang menetapkan UUD juga harus menjamin kelangsungan pancasila/UUD 1945. Untuk itu tertutup kemungkinan perubahan UUD 1945 dengan komposisi sepertiga suara MPR diisi oleh Golongan fungsional yaitu ABRI, selain itu juga diperlukan referendum untuk mengubah UUD 1945. Kelima, penataran P4 bagi seluruh kekuatan politik sampai terlaksana asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi politik/kemasyarakatan (1988). Dengan asas tunggal Pancasila terbuka terwujudnya suatu bentuk yang mempersatukan bangsa Indonesia yang plural sesuai dengan tujuan negara yang tercantum pada pembukaan UUD1945.

            Dari penjelasan di atas yang menjadi kunci sehingga Soeharto mampu memerintah dengan waktu yang cukup lama adalah dengan konsep politik penyederhanaan parpol. Meskipun pada awalnya sulit dilakukan, namun dengan usaha persuasif yang kuat akhirnya partai-partai mau untuk malakukan fusi. Taktik politik tersebut memang sangat jitu nyatanya. Peluang partai politik (PPP dan PDI) akan sulit untuk memenangkan pemilihan umum, menghadapi golkar yang memang diskenariokan untuk selalu menjadi pemenang pemilu melalui tiga jalur yaitu A (PNS), jalur B (ABRI), jalur G (Organisasi kemasyarakatan pendukung Golkar) yang terkenal itu. Tujuannya untuk mewujudkan terbentuknya mayoritas tunggal dalam sistem politik di Indonesia.

            Selain itu, dalam hal stabilitas politik ternyata menuai kontroversi dan menghasilkan regulasi dimana diterbitkan sejumlah peraturan yang mengakibatkan pengendalian pers dan pengendalian aksi mahasiswa yang sebenarnya jauh dari peratuan pers yang telah dibuat. Dalam hal prosedural diterbitkan Undang-Undang tentang Organisasi Massa dan Undang Undang Ketentuan Pers no 11 tahun 1966. Pada penjelasan umum UU tersebut diletakkan dasar-dasar pers yang mencerminkan begitu diakuinya kebebasan pers, beberapa poin penting disebutkan bahwa:

·           Pers Nasional Indonesia sebagai salah satu pencerminan dari pada perikehidupan dan kegiatan bangsa dalam perkembangan masyarakat Indonesia, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa secara keseluruhan.

·           memberikan jaminan hukum kepada Pers Nasional agar dapat menjalankan fungsinya dengan sebaik- baiknya, dan dapat melaksanakan tugas kewajibannya serta menggunakan hak-haknya.

·           Berdasarkan ketentuan tentang kebebasan pers maka sensor
pers dan pembredelan terhadap penerbitan pers tidak boleh diadaka
n[4].

            Peraturan tersebut nyatanya berbeda dengan pelaksanaannya, disini terlihat ketidak konsistenan dari peraturan yang dibuat. Dan nanti pada akhirnya media pun dapat dikendalikan dan disetir oleh pemerintah.

Pers Pada Masa Orde Baru

            Pada zaman pergerakan dan perjuangan mencapai kemerdekaan, media massa yakni surat kabar memegang peranan yang amat penting. Selain sebagai media komunikasi antara para politisi pejuang dengan rakyat, media massa merupakan senjata ampuh untuk menggalang massa. Media massa dengan kekuatan tulisannya mampu mempengaruhi opini masyarakat untuk menentang segala kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan rakyat Indonesia. Pasca proklamasi kemerdekaan, media massa memegang peranan yang amat penting dalam usaha penyebarluasan berita proklamasi ke seluruh rakyat Indonesia.

            Tak dapat dipungkiri bahwa ada kepentingan-kepentingan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu berita. Hal ini terjadi cukup signifikan pada masa Orde Baru. Ariel Heryanto dalam Hill (2011:34) mencatat bahwa media massa, termasuk pers khususnya media elektronik, jadi alat penting dalam memelihara dan membantu beranakpinaknya legitimasi Orde Baru....Ini bisa dipahami sebagai lembaga budaya pers Indonesia telah mengalami masa-masa keji penuh badai dalam perjalanan sebuah negara (Orde Baru).

            Soeharto tahu betul kekuatan pers dalam suatu pemerintahan negara. Besar, bahkan sangat besar pengaruhya. Opini publik akan memunculkan suatu aksi yang bisa menentang atau bahkan menggulingkan pemerintahannya. Untuk itulah ia mengambil kebijakan menerbitkan Undang-undang no 11 tahun 1966 mengenai pers. Intinya adalah bahwa apabila dipandang perlu, media massa bisa disetir pemerintah. Sepertinya, Soeharto memanfaatkan peristiwa G30S dan kerusuhan 1 Oktober 1965 sebagai usaha awal untuk melakukan politik pencitraan lewat pers. Sentimen masyarakat yang terlanjur antipati terhadap komunis, segera ditindaklanjuti dengan aksi pelarangan terbit terhadap 29 surat kabar yang terindikasi sebagai kubu pendukung komunis. Dan ironisnya, kubu ini menamakan dirinya sebagai Badan Pendukung Soekarno (BPS). Fakta ironis yang semakin menguntungkan citra Soeharto di kalangan rakyat.

            Salah satu kebijakan pers Soeharto yang nantinya akan menjadi bomerang adalah penghibahan beberapa pasangan surat izin kepada koran-koran semacam Harian KAMI  dan Mahasiswa Indonesia. Kedua surat kabar ini terlibat dalam aksi militan mahasiswa yang anti-PKI-Soekarno. Perlu dicatat bahwa penggerak utama kedua surat kabar ini adalah para mahasiswa, orang-orang yang tercerahkan. Artinya, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pendidikan dan ide-ide baru yang mampu mempengaruhi pola pikir dan aksi mereka. Mahasiswa merupakan subjek yang labil dan cenderung sulit untuk dikontrol. Muda, bersemangat, gigih dalam memperjuangkan keyakinannya, mungkin kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi mahasiswa saat itu.

            Pada dasarnya fungsi pers dapat dirumuskan menjadi 5 bagian, antara lain:

(1)     Pers sebagai informasi (to infrom) yaitu menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar, yaitu actual, akurat, faktual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas—jernih, jujur, adil, berimbang, relevan, bermanfaat, dan etis.

(2)     Pers sebagai edukasi (to education) yaitu apapun informasi yang disebarluaskan, pers hendaklah dalam kerangkan mendidik. Pers sebagai lembaga ekonomi memang dituntut untuk menjadi komersil dan memperoleh keuntungan finansial. Namun, orientasi dan misi komersi itu sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab sosial. Bagi masyarakat pers adalah perngamat, guru dan forum (Schrmm, Wilbur.1978:25).

(3)     Pers sebagai koreksi (to influence) yaitu pers sebagai pilar demokrasi setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam rangka ini, pers mengawasi atau mengontrol agar kekuasaan tidak korup dan absolut.

(4) Pers sebagai rekreasi (to intertain) yaitu pers sebagai penghibur. Pers harus mampu menghadirkan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus yang menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat, artinya apapun pesan rekreatif yang disajikan tidak boleh bersifat negatif, apalagi bersifat destruktif.

(5) Pers sebagai mediasi (to meditate) yaitu penghubung atau sebagai fasilitator atau mediator. Pers harus mampu menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang lain, peristiwa satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu dengan peristiwa yang lain atau orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama. Pers adalah perpanjangan dan perluasan manusia (the extented of man).

 

            Mashuri, S.H sewaktu menjabat sebagai penerangan menawarkan teori pers baru, yakni teori pers pancasila. Baik pihak Departemen Penerangan, Serikat Pers, maupun Persatuan Wartawan Indonesia, sama-sama menyatakan bahwa pers di Indonesia adalah bebas tapi bertanggung jawab.dalam hubungan ini, Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan mengakui bahwa dalam menafsirkan bebas dan bertanggung jawab sering terdapat kesulitan, sampai dimana batas kebebasan dan sampai dimana batas tanggung jawab. Dalam suasana kesulitan itu, Dewan Pers yang diketuai oleh Mashuri, S.H pada tanggal 1 desember 1974 telah mengeluarkan keputusan dewan pers No. 79/XIV/1974 tentang pedoman pembinaan Idiil Pers, yang antara lain menyebutkan bahwa kebebasan pers di Indonesia berlandaskan pada :

a.    Idiil : Pancasila

b.    Konstitusional : UUD’45 dan Tap MPR

c.    Strategis : GBHN

d.    Yuridis : UU No. 11 th. 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok peserta segenap peraturan pelaksanaannya.

e.    Kemasyarakatan : Tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia.

f.     Etis : Norma-norma kode etik profesional (Effendi, 2004:63).

            Menurut keputusan Dewan Pers No.79/XIV/1974 tertanggal 1 Desember 1974 yang ditandatangani oleh Menpen Mashuri, SH; pers nasional berpihak pada enam landasan. Pada zaman Orde Baru, enam landasan tersebut dijadikan semacam acuan bagi para pengusaha pers dan kalangan praktisi jurnalistik agar tidak tersandung dan bebas dari ancaman perberedelan yang setiap saat menghantui politik dan keleluasaan massa.

            Pada tahun 1970an, pers di Indonesia dapat dibagi menjadi enam jenis, yakni :

1)      Kelompok harian Orde Baru radikal, contohnya adalah Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia, Pedoman, Nusantara, Indonesia Raya.

2)      Surat-surat kabar terkemuka dengan angka sirkulasi tinggi dengan sikap politis yang hati-hati. Contohnya adalah harian Protestan Sinar Harapan dan Katholik Kompas.

3)      Surat kabar yang beorientasi pada penancapan akar angkatan bersenjata di kalangan rakyat. Contohnya, Berita Yudh dan Angkatan Bersenjata, Suara Karya (merupakan organ Golkar).

4)      Surat kabar radikal yang berhaluan nasionalis, seperti El Bahar, Merdeka, Suluh Marhaen.

5)      Surat kabar yang mewakili aspirasi kaum Muslimin Indonesia, yakni Abadi Jihad dan Duta Masyarakat.

6)      Kelompok terakhir adalah surat kabar apolitis dan bergaya hiburan seperti Pos Kota.

Dari uraian diatas jelas, pada tahun 1970an, seperti ada usaha untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing kelompok melalui pers.

            Pada awalnya, terjadi konsolidasi cukup baik antara pemerintah dengan pers khususnya pers mahasiswa. Namun, pada tahun 1970an, hubungan baik ini mulai terganggu. Pada periode 1970-an ini mulai mengemuka peran gerakan mahasiswa sebagai “kekuatan moral” (moral force), yakni kalangan intelektual yang penuh idealisme dan berusaha mengoreksi berbagai penyimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun bukan bagian dari kelompok elite politik yang ingin mendapatkan kekuasaan. Dalam beberapa kasus, rezim bertindak akomodatif, namun juga bisa keras menghadapi tuntutan gerakan mahasiswa ini.

            Sejak 1974, konsolidasi kekuasaan negara sudah usai, dan protes-protes mahasiswa yang dianggap membahayakan –seperti peristiwa Malari-- ditindak dengan keras. Gerakan mahasiswa tahun 1977-1978 menunjukkan kekuatan Negara Orde Baru makin dominan, dan kekuatan masyarakat makin melemah. Hal ini terlihat dari tak adanya sambutan dari kelompok-kelompok politik lain terhadap upaya mahasiswa untuk melakukan perubahan politik, termasuk kecaman mereka atas terpilihnya Soeharto sebagai Presiden untuk ketiga kalinya.

            Kontrol terhadap Dewan Mahasiswa (DM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) juga makin ketat diberlakukan, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pemerintah No. 028/1974, setelah meledaknya peristiwa Malari 1974. SK ini memberi wewenang yang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol mahasiswa.

Pada 19 April 1978, sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa, konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) diterapkan secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Joesoef, melalui Surat Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978. NKK/BKK ini baru diakhiri secara formal oleh Mendikbud Prof. DR. Fuad Hassan pada 28 Juli 1990, dengan keluarnya Surat Keputusan No. 403/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Dari serangkaian peristiwa ini jelas terlihat bahwa mahasiswa merupakan organ penting dalam perpolitikan Orde Baru.

            Pemberedelan surat kabar pada masa Orde Baru terbagi menjadi dua jenis, yakni yang bersifat sementara dan permanen. Sebuah surat kabar biasanya akan mendapat peringatan atau dicabut surat izinnya lantaran mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, seringkali pencabutan surat izin disertai dengan alasan dan penilaian yang tidak jelas, Contoh kasus adalah harian Suara Karya yang notabene didalangi oleh Golkar, yang menerima peringatan dari Departemen Penerangan. Padahal, wakil presiden Sudharmono masuk dalam jajaran redaksi. 

            Pada praktiknya, apa yang boleh atau tidak boleh diterbitkan pers Indonesia pada masa Orde Baru lahir dari sebuah telepon. Budaya telepon dari pemerintah kepada redaksi untuk meredam berita-berita yang sensitif dan merugikan pemerintah. Aksi tidak resmi ini ternyata ampuh untuk menundukkan para redaksi surat kabar. Budaya telepon ini pun diungkapkan Rosihan Anwar dalam bukunya berjudul Petite History. Terkadang, redaksi diperintah untuk tidak menghapus suatu berita hanya lebih dieufemismekan atau diperhalus bahasanya.

            Pada intinya, kekuatan pers pada masa Orde Baru amat besar pengaruhnya namun tidak mempunyai kuasa untuk mempengaruhi. Segala bentuk kegiatan pers, harus dibawah kontrol mentri Penerangan. Boleh dikatakan bahwa yang menjadi kepala redaksi adalah mentri Penerangan. Djamaludin Adinegoro dalam Anwar (2009:13-14) mengatakan bahwa Pers yang sehat hanya akan subur tumbuhnya dan terjamin perkembangannya menurut sewajarnya dalam suasana yang bebas dan tidak tertekan. Kalau fakta tidak boleh diberitakan secara sebenarnya, obyektif, aktuil, tak dicampuradukkan dengan opini, kalau dilarang pula kritik yang zakelijk (konstruktif),.....maka kehidupan pers tidak ada jaminan lagi akan menjadi sehat.

 

Perbedaan Pers antara Orde Baru dan Orde Reformasi

Gerakan reformasi 21 Mei 1998 merupaan titik balik bagi pemerintahan Orba dan memberikan angin segar bagi kebebasan pers. Peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie yang ditindak-lanjuti oleh Yunus Yoosfiah kala itu menjabat sebagai Menpen, mencabut Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP); dan SK. Menpen No.214A/Kep/Menpen/1984 Tentang Prosedur dan Persyaratan Untuk Mendapatkan SIUPP[5]. Dicabutnya ketentuan ini, membuka gerbang sebebas-bebasnya kepada masyarakat untuk membuat perusahaan pers dan melakukan kontrol sosial. Jumlah penerbitan pers meningkat dengan cepat, sampai 15 April 1999, Deppen sudah mengeluarkan 852 SIUPP baru. Pada akhir Tahun 2001 penerbitan pers di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 1800 - 2000. Wilayah penerbitan pers juga semakin meluas, tidak hanya terpusat di ibukota negara dan kota propinsi, tetapi sudah sampai ke kota kabupaten, bahkan kota kecamatan juga memiliki surat kabar[6].

Di bidang kontent media, kebebasan pers dalam kondisi eforia, yang ditunjukkan dalam isi, gaya pemberitaan serta cara-cara memperoleh informasi yang berbeda dengan masa Orde Baru. Berbagai batas wilayah pemberitaan, yang masa Orde Baru dianggap tabu dan berbahaya secara politik, kini seolah-olah sirna diterpa angin kebebasan. Pers mengalami lepas kendali. Bahkan tidak sedikit pula pengamat mengeluh bahwa pers kini sudah menceritakan apa saja kecuali yang benar. Bila pada masa Orde Baru pers tidak bebas dan bertanggung­jawab, pers Orde Habibie adalah pers yang bebas tapi tidak bertanggung jawab (Haryanto: 2011).

Dalam sistem politik yang relatif terbuka, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap negatif. Di satu sisi, kebebasan agar leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral.

Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi kebablasan pers. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan berbau seks. Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan. Terkadang informasi yang disajikan kerap melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain.

Selain itu kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.

Pengganti dari fungsi pengawasan dilakukan oleh lembaga independent seperti Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana diminta dalam UU Pers tahun 1999 dan UU Penyiaran tahun 2002. Yang jelas tampak adalah konglomerasi media dari sejumlah grup makin meluas dan makin kokoh. Banyak pengusaha yang masuk ke dalam industri media, dan membuat industri media memang memiliki karakter yang sangat kapitalistik (mendahulukan pengumpulan profit, menampilkan isi yang lebih mengundang pemasukan, isi media jadi lebih ‘soft’, tidak terlalu berani menampilkan liputan-liputan investigasi, tayangan televisi pun makin semena-mena: memasuki wilayah privat dan mengkomodifikasinya, kehidupan artis, kehidupan orang biasa-biasa). Fenomena saling mempromosikan isi dari grup yang lain menjadi sangat jelas.

Teknologi media berkembang, tetapi teknologi mahal dimiliki hanya sekelompok pihak saja, dan persaingan dalam industri media sangatlah luar biasa. Media franchise dari luar negeri mudah sekali ditemui (majalah FHM, Reader’s Digest, Harper’s Bazzar, dan lain-lain). Fungsi media ditarik-tarik antara kepentingan atas fungsi informasi dan fungsi hiburan. Landskap media yang baru seperti sekarang (jika dibandingkan dengan masa Orde Baru) menghasilkan tantangan yang berbeda lagi. Di masa lalu, informasi dikekang, pemerintah melakukan sensor, media dikontrol. Saat sekarang, informasi melimpah (saking melimpahnya menjadi ‘limbah’), pemerintah tidak melakukan sensor, tetapi sebaliknya banyak tayangan di televisi menampilkan apa yang kurang pantas untuk ditonton, media tak perlu dikontrol pemerintah, tetapi ia kini dikontrol oleh pemodal atau pemiliknya. Masih ada beberapa media mencoba untuk independen, tetapi lebih banyak yang tidak independen (Haryanto: 2011).

Pada dekade 1940 hingga 1990an awal istilah ‘pers perjuangan’ masih kerap disebut-sebut dalam aneka pembicaraan soal pers, namun kini, istilah itu sudah hilang. Yang adalah sebagai gantinya adalah istilah ‘pers industri’, dengan penekanan pada makna perputaran modal via industri media. Fenomena bajak membajak sumber daya manusia adalah wajar, lalu berbagai tayangan untuk meningkatkan rating dilakukan. Industri televisi terutama adalah yang paling depan untuk mengetengahkan tayangan-tayangan hiburan. Industri televisi utamanya adalah industri pertunjukan. Tidak ada lagi pertimbangan bermakna atau tidak pertunjukkan tersebut.

Informasi disampaikan dengan sangat cepat. Kompetisi antar media terjadi dalam hal kecepatan penyampaian informasi, baik itu televisi, radio, media online, atau media harian dengan dukungan media online-nya. Kecepatan penyampaian informasi memang penting, tetapi kecepatan penyampaian informasi itu bukan tanpa masalah. Utamanya adalah masalah dengan akurasi (ketepatan data/informasi) – masih ingat dengan kasus hilangnya pesawat Adam Air pada bulan Januari 2008, dan dikabarkan telah ditemukan, padahal keliru informasinya. Ancaman terberat bagi kemerdekaan pers d Indonesia saat ini justru dari kelompok massa. Walaupun ada ancaman dari pemerintah, polisi, maupun tentara, namun ancaman tersebut dari lembaga-lembaga tersebut atau perorangn dalam lembaga itu bisa lebih terkontrol, karena mereka punya pemimpin, yang bisadimintai pertanggungjawaban, dan lembaga-lembaga itu mempunyai aturan baku yang dapat dijadikan rujukan (Sumadiria: 2005)

 

KESIMPULAN

            Berakhirnya kekuasaan Orde Lama diakibatkan oleh banyak hal, namun yang paling utama adalah pemberontakan PKI dan akibat peristiwa tersebut lahirlah SUPERSEMAR yang rmenjadi tonggak kekuasaaan Orde Baru secara de facto. Pers sebagai lembaga ekonomi memang dituntut untuk menjadi komersil dan memperoleh keuntungan finansial juga turut terpengaruh pada peralihan kekuasaan tersebut. Di mana landasan pers sesungguhnya yang demokrasi di tekan oleh pemerintahan Orde Baru untuk kepentingan-kepentingan politiknya. Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang mendapatkan protes keras oleh Pers dan Mahasiswa menyebabkan banyak surat kabar yang mengalami pembrendelan, dilarang terbit dll sebagai konsekuensi akan sikap kritis pada kebijakan pemerintah. Pasang surut yang dialami pada masa Orde Lama, terulang kembali pada masa Orde Baru dengan bentuk berbeda.

            Sekalipun ada Peraturan-Peraturan Pers yang dibuat pemerintah dan di dalamnya memiliki tujuan yang baik, namun peraturan tersebut dilaksanakan secara berbeda dalam kenyataannya. Hal ini menunjukkan bahwa media menjadi kendaraan yang disetir oleh pemerintah. Selain itu, peraturan yang telah dibuat rupanya menjadi suatu senjata yang dipakai pemerintah untuk menahan aksi mahasiswa dan mengakibatkan pengendalian pers.

            Ada istilah pers yang unik, yakni Pers yang bebas dan bertanggungjawab.Pada masa Orde Baru, pers Indonesia memang bebas.  Namun, pertanggungjawaban ditujukan pada pihak mana?. Bukan kebenaran publik tapi pada pemerintah. Pers diwajibkan untuk bertanggung jawab atas semua berita yang diterbitkan kepada pemerintah. Konsekuensi dari pertanggungjwaban ini adalah disetujui untuk terbit atau malah diberedel.

            Pers dan politik amat dekat, namun hal itu wajar. Rosihan Anwar, wartawan senior Indonesia mengatakan, Saya sebagai Pemimpin Redaksi “Pedoman” waktu itu berpedoman pada denisi pakar komunikasi Amerika, Prof. Lucien Pye yang berkata “A journalist knows about politics, but its not of politics.Wartawan itu paham akan politik, tapi tidak aktif sebagai politikus. Pandangan ini mungkin bisa dijadikan pedoman bagi pers Indonesia saat ini agar lebih bersifat objektif dan tidak ditumpangi oleh kepentingan politik. Pers harus mampu bertanggung jawab secara moril dan materiil terhadap berita yang diungkapkan.



[1] Mahasiswa jurusan pendidikan sejarah angkatan 2009

[2] Hill, T. David. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 06-07

[3] Sulastomo, Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru, 2008 hal 192

[4] Penjelasan tentang UU no 11 th 1966 tidak dijelaskan secara menyeluruh. Diambil dari lembaran negara dan tambahan lembaran negara tahun 1966 yang telah dicetak ulang.

 

[5] Zaman pemerintahan  mempermudah pengurusan SIUP. Sebelumnya, proses pengurusan SIUP ada 16 tahapan, pasca reformasi hanya 3 tahap saja. Bahkan berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, SIUP dicabut dan pembredelan dilarang.

[6] Secara konstitusi kebebasan pers tegas diakui Negara. Bahkan secara kelembagaan, telah dibentuknya lembaga independen bernama dewan pers berdasarkan UU No. 40 / 1999 tentang Pers yang salah satu fungsinya melindungi kemerdekaan pers dari tangan pihak lain. Namun nyatanya, kebebasan itu masih mengalami penjajahan. Dan itu dilakukan oleh pelaku pers itu sendiri. Hal ini terjadi lantaran dengan tidak adanya aturan SIUP dan pembrendelan sebagaimana telah dihapusnya UU No. 11 Tahun 1966, UU No. 4 Tahun 1967 dan UU No. 1 Tahun 1982. Sehingga membuka kran seluas-luasnya bagi masyarakat untuk melahirkan perusahaan pers berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) undang-undang Pers. Sesungguhnya ini positif dan bentuk nyata dari kebebasan itu. Namun, juga melahirkan perusahaan-perusahaan pers yang secara ekonomi tidak mampu membiaya kegiatan jurnalisnya sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers No. 4 / Peraturan – DP / 2008 tentang Standar Perusahaan Pers angka 11 dan 12. Dan ini juga berimbas pada tidak terjaminnya kesejahteraan wartawan yang bernaung dibawahnya. Sehingga, tugas jurnalis yang semestinya menjunjung tinggi etika profesi sesuai Pasal 7 Ayat (2) UU Pers kerap terabaikan. Biasanya ini dilakukan wartawan-wartawan tanpa surat kabar atau wartawan bodrex. Secara tidak langsung, keberadaan perusahaan pers yang tidak bertanggung jawab itu telah merusak kebebasan yang diberikan konstitusi.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

PERADABAN SUNGAI INDUS

SUDUT PANDANG