MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA PERINDUSTRIAN PADA MASA HINDIA BELANDA

Oleh: Innayatul Nur Aini

Abstrak: Sektor industri dapat menjadi tumpuan pembangunan ekonomi nasional yang memiliki potensi untuk memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah dan devisa serta kontribusi sosial yang besar terhadap kemajuan bangsa. Dengan adanya industri barang produksi bisa di ekspor. Penguasaan Belanda atas Hindia Belanda berusaha menjadikan Hindia Belanda menjadi daerah industri yang kelak dapat memenuhi segala kebutuhan yang dibutuhkan oleh Belanda. Muncul berbagai industri yang merupakan hasil investasi asiang.

Kata kunci: Industri, investasi asing, ekspor, impor.

PENDAHULUAN

            Perindustrian merupakan salah satu aspek yang mendukung perekonomian suatu negara. Dengan adanya perindustrian, maka suatu negara dapat memproduksi barang dan mendistribusikannya sehingga dapat diperoleh suatu keuntungan untuk pemasukan negara. Kita tahu bahwa awal dari adanya perindustrian adalah adanya Revolusi industri yang terjadi di Eropa, yang mana berhasil mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropa, akan tetapi juga masyarakat di belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia. Apalagi dengan perubahan paradigma filsafat yang diterapkan oleh imperialisme Barat pada saat itu. Daerah jajahan tidak hanya merupakan daerah taklukan saja tetapi fungsinya lebih diberdayakan dari sekedar daerah penghasil bahan baku dan pemasaran hasil industri, tetapi juga secara aktif dijadikan sebagai tempat penanaman modal (investasi).

            Selain karena desakan kebutuhan yang menuntut diikutinya arus revolusi industri, muncul pula kritikan dari kaum humanis dan demokrat di negeri Belanda tentang pemberlakuan sistem tanam paksa di Indonesia. Desakan-desakan tersebut pada akhirnya mendorong untuk dihapuskannya sistem tanam paksa pada tahun 1870. terjadi beberapa perubahan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Perubahan itu antara lain: membuka kesempatan seluas-luasnya pada perusahaan swasta menanam modal di segala bidang usaha, termasuk industri pengolahan; adanya undang-undang agraria yang memberi kesempatan perusahaan asing memiliki tanah untuk dijadikan perkebunan; terbitnya undang-undang tentang industri gula yang menetapkan bahwa pemerintah akan menghentikan kegiatan dalam industri gula untuk diserahkan pada swasta.

            Sistem ekonomi terbuka di Hindia Belanda mulai dijalankan[2]. Sistem ekonomi terbuka memungkinkankan siapa saja dapat menanamkan modalnya di Indonesia, tidak hanya orang-orang Belanda saja. Tentu saja penanaman modal tersebut dilandasi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Kondisi ini pada akhirnya menciptakan cara baru dalam hal penindasan dan pengisapan bangsa Indonesia. Kalau dulu yang melakukan penindasan adalah orang-orang Belanda maka pada masa ini Indonesia dieksploitasi oleh kaum swasta dan para kapitalis asing lainnya. Penanaman modal di Indonesia, sebagian besar diarahkan untuk pembangunan perkebunan-perkebunan yang dapat menghasilkan komoditi yang diperlukan bagi bahan dasar industri (Pusponegoro, 1992:34).

            Dalam hal ini maka dalam artikel ini akan dibahas tentang munculnya perindustrian itu sendiri dan perkembangannya. Dalam hal ini perkembangan itu sendiri terbagi dalam kurun waktu sebelum tahun 1900 dan setelah tahun 1900, karena dalam rentan waktu tersebut terdapat perkembangan yang sangat pesat. Hingga akhirnya perekonomian akan mengalami titik buntu dan penurunan drastis saat terjadi krisis tahun 30’an.

 

PEMBAHASAN

Perindustrian Sebelum Tahun 1900

            Sebelum tahun 1900, industri di Indonesia tidak begitu berarti dan bentuknya masih beraneka ragam dan dalam skala yang relatif sederhana. Awalnya, di desa terdapat kerajinan rumah, dimana para petani membuat sendiri berbagai alat yang diperlukannya. Disamping itu di desa-desa juga terdapat sedikit industri rumah, yang menghasilkan barang-barang untuk dijual dan biasanya merupakan perusahaan tambahan bagi para petani. Selain itu juga terdapat kerja tangan, yakni cara produksinya yang didasarkan atas pesanan para langganan. Misalnya adalah tukang jahit, tukang kayu, dll.

            Industri dalam masa ini terbagi dalam tiga golongan yakni yang pertama industri dirumah (cottage-industry) yang diusahakan oleh penduduk desa dalam waktu terluang sebagai pekerjaan sambilan disamping menjadi petani, industri ini hampir seluruhnya berada dalam tangan bangsa Indonesia (pribumi). Dengan maksud untuk menghasilkan keperluan sendiri atau untuk dijual. Yang kedua, industri kecil (small scale industry) yang dikerjakan sebagai usaha pokok dengan memakai kerja tangan atau dalam perusahaan-perusahaan kecil yang mempunyai tidak lebih dari 50 orang pekerja dan biasanya tidak menggunakan mesin, dalam industri ini banyak berada di tangan orang-orang Tionghoa. Ketiga, industri pabrik yang meliputi jumlah pekerja lebih dari 50 dan biasanya menggunakan mesin. Sebagian besar industri ini dipegang oleh bangsa Barat (Atmosudirdjo, 1970: 190).

            Perusahaan-perusahaan asing telah memperkuat struktur ekonomi, namun setelah itu perusahaan-perusahaan itu dikembangkan dan dibiayai oleh negeri Belanda. Perusahaan besar banyak terbentuk, terutama di daerah luar Jawa seperti Sumatra dalam produksi karet, minyak kelapa sawit, serat, serta kopi dan teh. Bisa dikatakan Hindia Belanda merupakan daerah jajahan yang mampu memberikan segala keuntungan bagi negara induk, pertanian cara barat menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan yang mendasar dalam hal eksploitasi, baik dengan jalan perbaikan kualitas tanaman, metode pembiakan dan pemberantasan penyakit dan hama.

            Kisaran tahun 1870-1900, dimana masa itu merupakan Zaman Liberalisme karena untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial diberikan kesempatan kepada modal swasta untuk berusaha diberbagai bidang. Modal swasta lantas mengalir dari Eropa ke pulau Jawa dan Sumatra Timur, terutama dalam usaha perkebunan seperti tebu, kopi, teh, dan kina. Di pulau Jawa jumlah perkebunan tebu meningkat sangat cepat, yang diikuti dengan pembangunan pabrik-pabrik gula[3].  

            Awalnya yang termasuk dalam industri pabrik di Indonesia ini adalah yang disebut dengan industri utama. Dimana industri ini mengolah pertama bahan baku agraris serta pertambangan. Hasil pertanian diolah dalam industri pertanian, yang sebagian besar terikat dengan perusahaan pertanian Barat. Misalnya pabrik gula, teh, karet, serat, dan minyak kelapa sawit. Pabrik serta perusahaan pertanian berada dalam satu tangan, sehingga memang sudah sewajarnya kalau seluruh industri tersebut digolongkan dalam pertanian, bukan dalam industri pabrik. Penjelasan tersebut bisa dicontohkan seperti ini, suatu perusahaan gula dianggap sebagai perusahaan pertanian, sedangkan penggilingan beras dimasukkan dalam industri, karena disini pabrik penggilingan itu terpisah dari perusahaan penanam padinya. Pabrik-pabrik yang mengolah minyak bumi kasar serta biji timah, tidak digolongkan dalam industri, melainkan dalam pertambangan. Walaupun begitu, pabrik-pabrik yang terikat pada perusahaan pertanian serta pertambangan Barat ini tetap merupakan industri  pabrik yang paling intensif kapitalnya di Indonesia. Kebanyakan dari perusahaan tersebut produksinya untuk di ekspor.

            perindustrian belum mangalami perluasan yang berarti, meskipun pada saat itu menjadi perbincangan yang ramai, karena seperti yang sudah diketahui bahwa terjadi kesulitan ekonomi. Sekitar tahun 1900 ketika kenaikan jumlah penduduk dan menurunnya kemakmuran rakyat di pulau Jawa yang merupakan masalah sulit.

Perindustrian Pasca Tahun 1900

            Kurun waktu 1900-1914 merupakan periode yang sangat penting karena pada masa ini mulai dibuka perkebunan-perkebunan besar di pulau Jawa dan Sumatra. Bersamaan dengan itu, dibangun pabrik pengolahan hasil perkebunan seperti pabrik karet, kelapa sawit, atau hasil tanaman lainnya. Terkait dengan pelaksanaan undang-undang keselamatan kerja, sejak 1881 secara teratur diadakan pendaftaran pabrik yang menggunakan mesin uap untuk mengetahui perkembangan industri di Hindia Belanda. Namun jumlah yang tercatat sebenarnya belum menunjukkan jumlah sebenarnya karena masih banyak perusahaan yang masih memakai kincir air.

            Selain itu perkembangan industri semakin meningkat, sehingga saat itu terdapat Instansi pemerintah yang membina kegiatan industri yaitu tahun 1923 dengan nama Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel atau yang dikenal dengan departemen Pertanian, Kerajinan, dan perdagangan. Departemen tersebut berfungsi untuk mengatur dan membina kegiatan industri kecil dan kerajinan rumah tangga (Siahaan, 2000:33).

            Dengan semakin berkembangnya perindustrian, saat itu kegiatan industri dibagi atas 9 kelompok, yaitu industri makanan dan minuman (kopra, minyak kelapa, minyak kacang, tapioka, sagu, penyosohan beras, kopi, teh, dll.), industri gula; barang logam, mesin dan peralatan (perbengkelan, reparasi mesin, perakitan mesin, konstruksi bangunan, pengerjaan logam alat pertanian); industri kimia dan bahan dari minyak bumi (sabun, gambir, minyak astiri, barang dari karet, cat, korek api, lilin, dll.); kayu dan barang dari kayu (penggergajian, kayu balok, papan, anyaman rotan, tikar, perabot rumah); tekstil dan kulit (pertenunan, batik, pemintalan, tali, sabut kelapa, kain layar, penyamakan, pengeringan kulit, barang dari kulit, sepatu, sandal); barang dari bahan galian bukan logam (kapur, batubata, genteng, marmer, barang dari tanah liat, teraso, dll.); kertas dan percetakan (kertas merang, karton, percetakan, penjilidan); dan industri lain-lain.

            Kapital asing tidak menaruh minat pada bentuk-bentuk industri pabrik lainnya. Dalam tahun 1917, kurang lebih 800 juta gulden dari jumlah kapital itu digunakan dalam pertanian serta pertambangan dengan industri-industri pengolahannya, sedangkan hanya f. 25 juta saja yang dimasukkan dalam industri pabrik lainnya. Baru pada tahun 1930 muncul industri-industri baru yaitu industri logam berupa bengkel-bengkel untuk keperluan industri pertanian, kereta api.

 

Cabang Perusahaan

Jumlah Pabrik

Produksi

Taksiran Pemakaian produksi dalam Negeri dengan %

1.      Pabrik gula

2. Penggilingan besar

3. Pabrik teh

4. Pabrik remilling karet

5. Pabrik tapioka

6. Pabrik serat

7. Penggilinagn kopi

8. Pabrik minyak kelapa sawit

9. Pengolahan minyak tumbuh-tumbuhan

10.  Pengolahan minyak-minyak yang menguap

11.  Tempat pengolahan kapuk

12.  Penggergajian

13.  Pabrik kina

14.  Pengolahan minyak bumi

15.  Pengolahan biji timah

16.  Pembuatan garam

138

1.137

273

193

220

31

89

31

 

113

 

100

 

213

 

103

1

1.500.000 long ton

1.200.000 long ton

120.881 long ton

421.000 long ton

223.000 long ton

108.000 long ton

120.000 long ton

250.000 long ton

 

263.178 long ton

 

5.193 long ton

 

18.000 long ton

 

118.000 m

200 long ton

7.036.000 long ton

14.000 long ton

160.000 long ton

25

90

30

3

37

0

50

10

 

70

 

5

 

0

 

90

10

18

1

100

           

            Tahun 1910 perusahaan industri yang memakai katel uap meningkat dua kali lipat menjadi 729, yang mana sebelumnya pada tahun 1881 terdapat 350 dan tahun 1919 sudah mencapai 1.012 perusahaan. Kenaikan jumlah pabrik paling mencolok terjadi setelah terbitnya Undang-undang Industri Gula; banyak perusahaan asing dari Eropa, terutama Belanda, ingin menanamkan modal di bidang perkebunan dan industri pengolahan gula. Sebagian perusahaan asing itu bermaksud menggantikan kedudukan pemerintah yang segera mengundurkan diri dari industri gula, dan sebagian lagi memang berkeinginan membangun pabrik baru. Beberapa pabrik gula swasta yang sudah lama berdiri juga ikut meningkatkan investasi baru guna memperbesar kapasitas pabrik, dengan maksud agar dapat menampung hasil perkebunan tebu bekas milik pemerintah.

            Modernisasi dan perluasan pabrik gula menyebabkan impor barang mesin turut meningkat untuk memasok kebutuhan mesin pabrik yang pada tahun 1881 berjumlah 211. Namun sesudah 1885 jumlah pabrik mengalami penurunan karena timbulnya krisis gula di seluruh dunia, namun Hindia Belanda masih dapat mempertahankan diri sebagai pengekspor gula utama. Untungnya sesudah 1908 keadaan berubah, diwarnai dengan harga gula di pasar dunia yang meningkat sangat tajam. Dalam waktu singkat puluhan pabrik gula dibangun, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tumbuh pula perusahaan dagang yang mewakili perusahaan induknya di Eropa untuk menjual mesin-mesin peralatan pabrik, bahkan sekaligus membangun pabrik yang bergerak dalam bidang permesinan. Usaha perbengkelan berkembang, terutama untuk melayani kebutuhan pabrik gula atau pengangkutan tebu dari perkebunan ke pabrik. Bengkel-bengkel inilah yang menjadi cikal-bakal pabrik mesin dan perbengkelan di pulau Jawa.

            Selain gula, yang juga berkembang pesat adalah industri barang logam, mesin dan peralatan, yang sebagian besar dibangun berdekatan dengan pabrik gula. Pada awalnya perusahaan hanya berbentuk bengkel atau bangsal reparasi mesin, namun lama-kelamaan berkembang menjadi perusahaan besar.  Industri kimia, karet, dan bahan dari minyak bumi, pun perkembangannya cukup pesat. Kalau pada 1881 jumlah perusahaannya baru 15, pada 1919 meningkat menjadi 70 perusahaan. Antara tahun 1914-1919, telah berdiri beberapa industri kimia yang terdiri dari industri vulkanisasi karet, oksigen, cat, pupuk superfosfat, tinta, lak dan lem; demikian juga industri sabun, lilin, yodium, karbon bisulphide, dan natrium bisulphide.

            Ketika berkecamuk perang dunia I, 1914-1918, ekspor dari Hindia Belanda sangat menurun; hampir tak ada hasil perkebunan yang dapat diekspor ke Eropa, sehingga perekonomian saat itu mengalami sedikit mengalami penurunan. Kebutuhan barang impor yang biasanya didatangkan dari Eropa, pun terpaksa terhenti. Untuk menjaga agar keadaan tersebut tidak terulang, maka diusahakan supaya Hindia Belanda dapat mencukupi kebutuhan sendiri, tanpa tergantung lagi pada luar negeri. Untuk mempelajari pelaksanaan gagasan ini, Gubernur Jenderal Idenburg membentuk Panitia Pembangunan Industri di Hindia Belanda (Commissie voor de Ontwikkeling der Fabrieksnijverheid in Nederlandsch-Indie) dengan tugas merencanakan pembangunan industri yang lebih modern.

            Sebenarnya, sebelum Perang Dunia I telah berdiri beberapa pabrik berukuran sedang dan besar. Panitia Pembangunan Industri yang bekerja setelah perang berakhir, berhasil membangun beberapa pabrik lagi di kota-kota besar pulau Jawa. Bidang usaha pabrik-pabrik itu antara lain: industri mesin, penghasil gas oksigen, cat, tinta dan kaleng, pengalengan makanan, minyak kelapa, dan perakitan kendaraan bermotor.

            Jumlah perusahaan yang tercatat pada 1921 sebesar 10.343, yang 2.551 di antaranya dimiliki pengusaha Eropa, 3.380 dimiliki pengusaha Cina, dan 4.404 milik 'pribumi' Indonesia. Rincian jenis industrinya adalah: perusahaan makanan dan minuman (2.290), tekstil dan kulit (1.613), kayu dan barang dari kayu (1.180), kertas dan percetakan (160), kimia dan karet (1.121), barang dari bahan galian bukan logam (2.105), barang logam, mesin dan peralatan (1272), dan usaha lain-lain (502).

Depresi Dunia Dampaknya Terhadap Keadaan Perindustrian

            Terjadinya krisis pada tahun 1930’an yang merupakan krisis global berakibat pada keadaan ekonomi Hindia Belanda, khususnya dalam pembahasan ini adalah tentang keadaan perindustrian. Hindia Belanda hampir tidak menghasilkan barang-barang industri, melainkan hanya barang-barang pokok saja. Terutama yang berasal dari pertanian yakni bahan makanan seperti beras, gula, kopi, teh, dan bahan mentah seperti karet dan minyak bumi.

            Bisa dikatakan bahwa Hindia Belanda bukanlah termasuk dalam daerah-daerah Industri yang dalam tahun 1930 terdiri dari Eropa Barat, Amerika, Jepang, dan Rusia, namun saat itu Hindia Belanda tergolong tergolong dalam daerah agraris. Akibat depresi tadi bagi daerah-daerah industri adalah kemerosotan harga barang industri, pengurangan produksi industri, serta pengangguran yang sangat tinggi. Selain itu berdampak juga bagi daerah agraris yakni menurunnya harga hasil agraris, menimbulkan persediaan besar yang tidak terjual, sedangkan produksi sendiri tidak berkurang. Dengan demikian bisa dikatakan bagi Hindia Belanda menimbulkan suatu kemerosotan harga yang sangat rendah serta penumpukan persediaan yang tidak dapat dijual seperti gula, karet dan timah (Atmosudirdjo, 1970: 190).

            Hindia Belanda termasuk dalam daerah debitur, yang miskin akan modal serta telah berhutang kepada negara-negara lain. Karena alasan tersebutlah dalam melunasi pembayaran pinjaman beserta bunganya terpaksa mengadakan kelebihan pengeluaran (uitvoer-overschot). Selain kemerosotan harga tersebut, terdapat faktor yang memberatkan yaitu serbuan Jepang sekitar tahun 1930. Setelah perang dunia kedua, industrialisasi Jepang mengakibatkan ekspor besar-besaran sehingga barang-barang harganya sangat murah. Dalam saat-saat depresi ekonomi seperti ini, hal tersebut merupakan suatu pertolongan bagi rakyat pribumi.

            Dengan keadaan ekonomi yang menurun ini, pemerintah ikut mengatur kebijakan ekonomi. Hal yang dilakukan adalah:

1.     1. Pengurangan produksi ekspor serta menghilangkan persediaan-persediaan yang berlebih, oleh karena itu pada tahun-tahun berikutnya diadakanlah peraturan-peraturan pembatasan.

2.      2. Devaluasi yang tertunda sampai pada tahun 1936.

3.      3. Pembatasan terhadap usaha-usaha Jepang.

  (Atmosudirdjo, 1970: 190)

            Namun, hal ini masih terdapat kesulitan, terlebih lagi terhadap impor-impor dari Jepang. Impor Jepang yang murah, di satu sisi merupakan suatu hal yang bisa disebut sebagai penolong bagi Hindia Belanda. Di sisi lain juga membahayakan bagi industri Hindia Belanda dan juga mengancam barang impor negara-negara lain yang sekaligus juga penerima hasil produksi ekspor. Menurut (Van Gorcum, 1987: 281) kebijakan yang dilakukan adalah peningkatan bea impor yang bertujuan untuk pengisian kas negara dan dan untuk memajukan industrialisasi. Selanjutnya dilaksanakan politik clearing oleh Negeri Belanda dan melibatkan Hindia Belanda pada waktu pembuatan perjanjian-perjanjian perdagangan, juga mengandung tujuan menyediakan tempat bagi hasil produksi ekspor Hindia Belanda.

            Ordonasi pengaturan perusahaan akhirnya membuka kemungkinan untuk memberantas perkembangan yang tidak diinginkan di sektor perindustrian dalam negeri. Sekalipun dengan bantuan industrialisasi, namun hasil-hasil di bidang ini masih tetap terbatas. Upaya untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai suatu negeri dengan campuran agraris-industri tidak berhasil dan menurut Van Gorcum tidak akan pernah berhasil. Hail ini didasarkan pada beberapa alasan yakni penanaman modal asing yang relatif tetap kecil, perkiraan jumlah modal masyarakat yang berasal dari perusahaan-perusahaan industri yang didirikan oleh asing itu sampai tahun 1929 masih berada pada urutan sebesar 30 juta gulden, untuk periode mulai tahun 1929 ke tahun berikutnya hanya meningkat sedikit saja.

            Belum lagi di India, Tiongkok, dan Taiwan industri gula dalam negerinya telah mengalami kemajuan, yang merupakan hasil dari bantuan pemerintah dalam negeri sendiri. Sebagai akibat dari perluasan industri gula di daerah-daerah Asia lainnya. Maka, Jawa terpaksa mengurangi separuh dari usaha di bidang ini. Sebaliknya, bagian lain dari industri pengolahan seperti penggilingan beras serta karet setelah tahun 1930 meningkat maju. Demikian juga halnya dengan industri kedua/sekunder industri. Menurut Sitsen pendapatan industri ini dari tahun 1928 hingga 1938 hampir empat kali lipat. Kemajuan terbesar dicapai setelah yahun 1935. Sangat berbeda dengan pertanian serta industri pengolahan lainnya yang terutama menghasilkan bahan-bahan mentah untuk di ekspor. Maka, industri kedua ini pada pokoknya mengerjakan barang-barang konsumsi untuk keperluan dalam negeri.

            Perluasan ini dialami oleh industri kecil dan industri pabrik. Sekitar 40 persen dari industri kecil ini berusaha untuk pemborong (bakul, tengkulak) menurut sistem verlag. Sedangkan 15 hingga 20 persen bekerja  di tempat-tempat manufaktur. Gejala yang paling mengherankan dalam pertumbuhan industri kecil itu adalah kemajuan luar biasa pada industri bahan pakaian (textil) dalam tahun 1927, lembaga textil di Bandungtelah mendapatkan suatu alat tenun yang lebih baik dan dapat menghasilkan tujuh kali sebanyak alat tenun desa yang lama.

            Pendapatan inilah yang menjadi pendorong bagi kemajuan industru tenun di Periangan. Jumlah alat-alat tenun bertambah cepat sekali. Setelah didatangkan alat tenun mesin dan setelah daerah tersebut sudah teraliri oleh listrik, maka pada tahun 1935 jumlah alat tenun mesin pun bertambah semakin banyak. industri tenun baru ini muncul atas inisiatif rakyat sendiri, namun pada akhirnya timbullah desakan dari orang Tionghoa dalam industri ini.

            Berbagai macam industri kecil lain menunjukkan kemajuan. Misalnya produksi dari rokok kretek yang merupakan hasil pengerjaan tangan. Dalm tahun-tahun 1933-1939 meningkat dari 14,2 menjadi 18,8 juta gulden. selain itu juga muncul industri perabot rumah tangga di Pasuruan yang meningkat produksinya dari 34 juta gulden tahun 1935 menjadi 96 juta gulden dalam tahun 1941.

            Dari berbagai munculnya industri kecil yang telah diuraikan di atas, tidak ada perbedaan tajam antara bentuk-bentuk industri yang berkembang. Misalnya industri rokok dapat berbentuk industri rumah ataupun manufaktur, namun di Hindia Belanda berkembang sebagai industri rumah yang dikuasai oleh para pedagang dan dari bentuk ini berkembang menjadi manufaktur, tapi juga tetap memberi pekerjaan pada usaha-usaha di rumah. Sehingga erat sekali dengan industri rumah. Demikian jugfa pada industri batik dan textil. Itu semua menunjukkan bentuk industri yang usahanya hanya untuk mencukupi keperluan sendiri. Dengan munculnya banyak industri kecil ini maka rakyat pribumi bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Meskipun industri kecil ini tidak mengarah untuk kjegiatan ekspor.

 

Tabel pencakupan keperluan sendiri dengan barang-barang Industri di Hindia Belanda dalam % pada tahun 1939 (Atmosudirdjo, 1970: 198).

Jenis hasil

Prosentase

Margarin

Biskuit

Gula-gula

Cerutu

Rokok sigaret

Kapas pembalut

Belirang bersih

Zat garam besi

Cat

Sabun

Kepingan semen-asbes

Gelas

Peti tripleks

Penjamakan kulit

Sepatu

Barang kulit

kertas

textil

40

45

60

80

92

30

20

80

75

72

16

9

5

70

60

70

27

9

 

Dari sini, dapat dilihat memang perkembangan yang dialami Hindia Belanda pada akhirnya mengalami kemerosotan. Meskipun begitu perlu dibanggakan bahwa dengan adanya kemunculan berbagai industri kecil yang sifatnya hanya memenuhi kebutuhanny sendiri. Setidaknya rakyat tidak begitu menggantungkan diri pada luar negeri.

 

PENUTUP

Simpulan

            Perindustrian modern atau barat muncul dan mulai berkembang setelah berakhirnya sistem tanam paksa. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa waktu itu merupakan zaman liberalisasi. Dibukanya kesempatan bagi pengusaha swasta asing untuk menanamkan modal di Hindia Belanda. Penanaman modal swasta asing inilah yang membiayai segala macam perindustrian, sehingga banya muncul industri-industri yang mengeksploitasi segala bentuk kandungan atau potensi yang dimiliki oleh daerah-daerah Hindia Belanda.

            Awalnya memang sempat berkembang dengan pesat, itupun tidak lepas dari peran para investasi asing yang menjadi modal utama berdirinya banyak industri di Hindia Belanda. Namun terjadinya krisis pada tahun 1930’an yang merupakan krisis global berakibat pada keadaan ekonomi Hindia Belanda, khususnya dalam pembahasan ini adalah tentang keadaan perindustrian. Hindia Belanda hampir tidak menghasilkan barang-barang industri, melainkan hanya barang-barang pokok saja.

            Upaya untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai suatu negeri dengan campuran agraris-industri tidak berhasil dan tidak akan pernah berhasil. Hail ini didasarkan pada beberapa alasan yakni penanaman modal asing yang relatif tetap kecil, perkiraan jumlah modal masyarakat yang berasal dari perusahaan-perusahaan industri yang didirikan oleh asing itu sampai tahun 1929 masih berada pada urutan sebesar 30 juta gulden, untuk periode mulai tahun 1929 ke tahun berikutnya hanya meningkat sedikit saja. Namun, di lain sisi hanya industri kecil saja yang meningkat, itupun hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri, tidak untuk ekspor ke luar.

            Bisa dikatakan secara singkat seperti ini, bahwasannya Indutri muncul awalnya sebelum tahun 1900 yang paling tidak itu pelaksanaan dari politik pintu terbuka. Sekitar tahun 1870. Tahun 1900 mulai berkambang secara cepat. Tahun 1930 saat terjadi krisis perindustrian mulai melemah, namun di sisi lain muncul industri kecil yang sangat pesat, yang mana industrinya hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bukan skala ekspor. 

 

Saran

            Perkembangan industri di Hindia Belanda dijadikan pelajaran berharga akan bagaimana  pembentukan kebijakan yang sesuai dengan  zaman dan kondisi masyarakatnya. Perlulah untuk dijadikan cerminan tentang bagaimana perkembangan  industri dalam masa tersebut berjalan, sebagai pertimbangan-pertimbangan untuk perekonomian kedepannya. Dimana memang saat itu modal asing sangat berarti untuk perkembangan industri. Sehingga yang berkembang adalah industri kecil yang hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri.

            Oleh karena itu, bisa diketahui bahwa selain kekurangan modal dalam industri utama, seharusnya industri kecil yang perlu dimajukan dan lebih ditingkatkan kualitasnya. Sehingga tidak menutup kemungkinan menjadi baranga ekspor yang benilai tinggi dan bisa menjadi pemasukan negara. Lebih lanjut saran ini yakni pemerintah lebih memperhatikan industri-industri kecil daripada mengembangkan industri utama yang mana kita tahu sendiri bahwa belum banyak ahli yang terdapat di Indonesia sendiri sehingga perlu mendatangkan dari luar. Selain itu juga dari dalam negeri harus ditingkatkan kekuatan yang bisa membuat Indonesia dapat berdiri sendiri.

            Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya alamnya, terdapat banyak gas alam, laut yang luas, sawah yang hijau dimana-mana, galian alam yang begitu banyaknya, hutan yang sangat banyak, tapi mengapa masih saja terlihat miskin dan industri yang banyak berdiri mewah seolah negara kita ini negara industri, tidak juga menjamin karena sebagian besar dikuasai asing.

            Oleh karena itu perlu juga beberapa hal yang harus dilakukan. pertama yang harus dilakukan Indonesia adalah menyadari potensi yang dimiliki oleh Indonesia sendiri untuk menguasainya. Hutan, laut, dan sektor agraris adalah tombak kekuatan Indonesia. Pemerintah harus berani untuk menginvestasikan modalnya kepada para perajin yang memanfaatkan hutan daripada mengalihfungsikannya untuk perkebunan sawit semata. Selain itu, perbatasan laut pun harus dijaga dengan ketat agar tidak ada lagi kasus pencurian sumber daya laut di Indonesia. Sektor agraris pun juga harus diperkuat. Para petani harus dibebaskan dari segala bentuk pajak tanah untuk sawah dan bibit serta pupuk yang digunakan pun juga harus diberikan dengan gratis atau setidaknya dengan harga semurah-murahnya. Selain itu, penggalakan perubahan paradigma nonberas juga harus dilakukan. Sumber karbohidrat tidak hanya nasi, namun juga kentang, ubi, singkong, yang notabene merupakan produk Indonesia. Pangan alternatif selain beras harus disosialisasikan sehingga stok pangan sebagai sesuatu yang vital dapat terjaga.

            Kedua adalah dengan melakukan maksimalisasi pada sektor-sektor agraris tersebut dengan harapan Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, namun juga mampu mengekspor keluar negeri dan mendapatkan pemasukkan. Hal ini dilakukan tentu saja dengan jaminan terlebih dahulu bahwa seluruh penduduk Indonesia sudah mendapatkan akses terhadap pangan dan terhindar dari gizi buruk. Penguatan sektor ini kemudian bukan hanya pada sektor  agraris, namun juga pada hal lainnya yang memang berciri khas Indonesia seperti garam sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengimpor bahan-bahan yang dianggap vital.

            Ketiga adalah melakukan peningkatan pada sektor pendidikan. Hal ini adalah syarat mutlak Indonesia untuk menjadi sebuah negara industri yang mandiri. Jika Indonesia hendak menguasai sektor industri tanpa harus menggantungkan diri pada negara barat, maka pendidikan harus digalakkan dengan maksimal.

 

DAFTAR RUJUKAN

Atmosudirdjo, Prajudi. 1970. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia II. Jakarta: Pradnja Paramita.

Djoened Poesponegoro, Marwati dan Notosusanto, Nugroho. 1992. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, H.C. 1981. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan oleh Dharmono Hardjowidjono. 1991. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Simbolon, Prakatiri. T. 1995. Menjadi Indonesia buku I: Akar-akar kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas-Grasindo.

Van Gorcum & Comp. N,V. 1961. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Terjemahan oleh Amir Sutaarga. 1987. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Bisuk Siahaan. 2000. Industrialisasi Di Indonesia Sejak Periode Rehabilitasi Sampai Awal Abad Reformasi. Bandung: PT Bumi Grafika Jaya.




[2] Dalam hal ini, saat itu Hindia Belanda berlaku sistem ekonomi Liberal yang mempunyai asas pokok, antara lain, Pemerintah tidak boleh ikut campur dalam kegiatan ekonomi rakyat, Kegiatan ekonomi sehari-hari harus ditangani oleh pihak swasta dengan corak dan gayanya sendiri-sendiri, Tugas negara (pemerintah) adalah memelihara ketertiban umum dan menegakkan hukum agar kehidupan ekonomi berjalan lancar.

 

[3] Pabrik pengolahan gula yang lebih modern dibuka untuk pertama kali di daerah Pamanukan, Subang (Jawa Barat) dan Besuki (Jawa Timur) karena perkebunan tebu di Batavia sudah tidak bagus lagi akibat penyempitan lahan untuk pemukiman serta perubahan cuaca waktu itu. Lahan-lahan pertanian mulai dirubah untuk perkebunan tebu akibat permintaan yang besar dari Eropa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

PERADABAN SUNGAI INDUS

SUDUT PANDANG