PERKEMBANGAN
POLA DAN STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA MASA REVOLUSI (1945-1949) DAN MASA
NASIONALISASI EKONOMI (1950-an)
Riswatul Ummi, Ayuningtyas M., Nur Halimah, Yenni
Prisca Sari
Abstrak: Permasalahan ekonomi
muncul seiring telah lahirnya masa revolusi
pasca kemerdekaan Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan para pemimpin Indonesia
guna mengatasi hiper inflasi akibat intervensi asing yang
masih mendominasi. Mulai dari kebijakan moneter sanering
hingga mencetak ORI. Kondisi kekacauan ekonomi bertahan hingga adanya pengakuan
kedaulatan Indonesia di tahun 1949. Memasuki dekade 50-an kondisi perekonomian
kian memburuk, ditambah lagi dengan kondisi politik yang
tidak stabil. Guna mengatasi keadaan tersebut, mulailah
digalakkan upaya Nasionalisasi Ekonomi dengan mengeluarkan berbagai bentuk
kebijakan moneter dan menasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda yang masih mendominasi sektor niaga di Indonesia.
Kata kunci: Perekonomian
nasional, Revolusi, Nasionalisasi ekonomi.
Pendahuluan
Proklamasi kemerdekaan negara Indonesia (17 Agustus 1945) membawa perubahan yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama dalam sistem pemerintahan. Sebagai negara yang baru berdiri, banyak permasalahan yang harus segera diselesaikan, selain masalah pemerintahan yang memang paling krusial. Begitu pula dengan perekonomian negara yang baru berdiri juga memerlukan pengaturan dan perhatian besar sebab berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah merdeka Indonesia juga belum bisa lepas dari sistem kolonial, baik bidang pemerintahan, sosial maupun ekonomi. Pada masa-masa awal kemerdekaan terlihat sistem ekonomi Indonesia tidak dapat lepas sepenuhnya dari pengaruh kolonial yang masih kental (Linblad, 2002: 20). Dalam Sistem ekonomi kolonial, tujuan utamanya adalah untuk mengeksploitasi ekonomi tradisional sehingga pendapatan penduduk selalu rendah dan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sisi lain dari kehidupan kolonial adalah tidak pernah memberi pelatihan menejemen administrasi pemerintahan dan segala kebijakan yang dikeluarkan bertujuan untuk menyejahterahkan negeri Belanda saja.
Berbeda ketika Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang (1942-1945), bahwa pemerintah Jepang telah mengadakan latihan administrasi pemerintahan dan kemiliteran, namun situasi ekonomi rakyat tetap kacau-balau. Ekonomi perang telah menghancurkan tatanan yang telah ada sebab semua aktifitas hanya digunakan untuk perang. Untuk menggantikan uang Belanda dicetaklah uang Jepang namun pengendalian uang Jepang ini.
malah
mengakibatkan inflasi. Karena sulitnya kehidupan masa Jepang dapat dikatakan
ekonomi pada waktu itu disebut “ekonomi telanjang”, dalam arti tidak setiap
orang mampu membeli kain untuk bahan pakaian (Pranoto, 2001: 181). Begitu sulitnya keadaan
saat itu hingga membuat rakyat menggunakan bagor, goni, dan kulit binatang
untuk pakaian atau sekedar penutup aurat. Hasil pertanian tidak menjanjikan dan
menjamin menghasilkan bahan makanan. Daya beli rakyat tidak ada sama sekali,
sedangkan mereka harus melayani kinrohoshi
yang menghabiskan tenaga. Hal ini dikarenakan pada akhir masa perang, Jepang melaksanakan
kebijakan politik ekonomi “memenuhi kebutuhan sendiri” (Genchi Jikatsu) di wilayah pendudukannya. Ketika posisi Jepang
dalam peperangan melemah, pemerintah Jepang memerintahkan semua pasukan wilayah
pendudukan termasuk Indonesia agar mampu berswasembada (Lucas, 2004: 39).
Keadaan seperti di
atas hampir terjadi di seluruh Indonesia. Buruknya perekonomian tidak segera
pulih setelah proklamasi. Peralihan dari ekonomi yang kacau pada masa
pendudukan Jepang sebenarnya tidak banyak berubah pada pasca proklamasi. Rakyat
masih harus menderita kemiskinan warisan Jepang dan Republik belum mampu
menegakkan ekonomi yang baik dan kesejahteraan yang layak. Pemerintah baru
mencoba mencari jalan guna mengatasi kesulitan perekonomian. Pada waktu
perekonomian Indonesia baru akan pulih sudah datang masalah-masalah baru yang
memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit.
Pemerintahan Indonesia
pada masa awal revolusi
memang belum bisa dikatakan stabil mengingat banyak pekerjaan rumah pemerintah
baik dalam bidang pemerintahan, sosial, terutama ekonomi yang tidak kunjung
terselesaikan. Para pemimpin Indonesia pada tahun-tahun awal pasca kemerdekaan
mengeluarkan serangkaian kebijakan ekonomi guna mengatasi berbagai permasalahan
yang muncul. Situasi ekonomi Indonesia bertambah buruk seiring dengan kondisi
perpolitikan yang tidak stabil akibat intervensi asing dan munculnya berbagai
gerakan separatis di berbagai
daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedua aspek ini saling mempengaruhi secara
signifikan. Di tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan
ekonomi yang
disebut dengan Nasionalisasi Ekonomi. Ini didasarkan pada kondisi ekonomi Indonesia
yang tak kunjung membaik setelah revolusi
fisik karena campur tangan pihak Belanda.
Adapun tujuan dari
penulisan artikel ini penulis ingin memaparkan lebih detail mengenai keadaan
ekonomi pada masa Revolusi tahun 1945-1950an, kebijakan-kebijakan ekonomi,
serta usaha-usaha pemerintah Indonesia guna mengatasi permasalahan ekonomi pada
tahun-tahun awal pasca kemerdekaan. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat
mengetahui perkembangan Pola dan Struktur perekonomian Indonesia sejak masa revolusi hingga tahun
1950-an.
Perkembangan
Perekonomian Indonesia pada Masa
Revolusi (1945-1949)
Revolusi Indonesia
memerlukan banyak biaya bukan hanya biaya militer tetapi juga biaya untuk
menjalankan pemerintahan dan diplomasi. Perjuangan secara fisik maupun diplomasi untuk
mempertahankan kemerdekaan telah menyerap segenap perhatian para pemimpin
nasional. Sementara itu,
masalah perekonomian Indonesia hanya difokuskan pada upaya rehabilitasi dan
rekonstruksi untuk mamperbaiki kehancuran yang diakibatkan oleh perang
kemerdekaan, padahal masalah ekonomi dan sosial yang dialami bangsa Indonesia
setelah pendudukan Jepang dan revolusi
sangatlah besar. Sebagian besar fasilitas komunikasi dan transportasi,
instalasi minyak, perkebunan dan beberapa industri telah hancur berat akibat
perang (Kahin dan Kahin dalam Kanumoyoso, 2001: 15). Perubahan
pemerintahan yang drastis dari keadaan ekonomi perang yang sangat buruk harus
dilanjutkan dengan kondisi itu guna mempertahankan kemerdekaan. Sementara itu
rakyat tetap antusias untuk mengubah sistem perekonomian yang berlaku di samping infrastruktur
perekonomian Republik
yang kurang memadai.
Menurut Kanumoyoso
(2001: 8-9), Republik Indonesia muda pada periode revolusi kemerdekaan
(1945-1949) masih belajar untuk mengelola perekonomian negara yang masih kental
dengan nuansa kolonial. Para pemimpin politik Indonesia mencoba merumuskan konsep
tentang ekonomi nasional. Terdapat dua pendapat mengenai pandangan perekonomian
Indonesia ke depan, yaitu para ekonom pragmatis yang berpandangan bahwa
investasi asing sementara ini masih diperlukan untuk menunjang kegiatan
perekonomian. Pandangan kedua lebih radikal, yaitu para kaum komunis dan
nasionalis kiri berpendapat bahwa penyitaan kekayaan pihak asing sajalah yang
mampu menyelamatkan perekonomian Indonesia. Kedua pandangan ini saling
berlawanan pada awalnya, namun akhirnya jalan keluar yang diambil adalah dengan
memberikan peranan utama kontrol ekonomi pada negara.
Pada masa akhir pendudukan Jepang dan masa awal Republik Indonesia, keadaan ekonomi sangat kacau. Hiper inflasi. menimpa negara Republik Indonesia yang baru berumur beberapa bulan. Sumber inflasi adalah beredarnya mata uang Jepang secara tak terkendali. Peredaran mata uang Jepang di masyarakat diperkirakan sejumlah 4 milyar. Sampai pada bulan Agustus 1945, mata uang Jepang yang beredar di Jawa saja berjumlah 1,6 milyar. Jumlah ini kemudian bertambah ketika pasukan Serikat berhasil menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan menguasai bank-bank. Dari bank-bank itu diedarkan uang cadangan sebesar 2,3 milyar untuk tujuan operasi dan membiayai pembantu-pembantunya seperti menggaji pegawai dalam rangka mengembalikan pemerintah kolonial Belanda.
Yang paling
menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal ini dikarenakan pada jaman
pendudukan Jepang, petani menjadi produsen yang paling banyak menyimpan dan
memiliki mata uang Jepang. Di samping penderitaan yang dialami petani,
pemerintah Belanda juga melakukan blokade, dalam hal ini blokade laut, sehingga
ekonomi RI semakin memburuk. Blokade ini, yang dimulai pada November 1945,
menutup pintu keluar masuk perdagangan RI. Akibatnya barang-barang dagangan
milik pemerintah RI tidak dapat diekspor.
Adapun alasan Belanda
melakukan blokade adalah (Djoened Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 173):
1.
Untuk mencegah
dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia.
2.
Mencegah dikeluarkannya
hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya.
3. Melindungi bangsa Indonesia
dari tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh bukan bangsa
Indonesia.
Rumitnya lagi
pemerintah republik tidak dapat menyatakan bahwa mata uang pendudukan Jepang
tidak berlaku. Hal itu disebabkan negara
sendiri belum memiliki mata uang resmi. Selain kas pemerintah kosong,
pajak-pajak dan bea masuk lainnya pun sangat berkurang, sebaliknya pengeluaran negara semakin bertambah.
Sehingga untuk sementara waktu pemerintah mengambil kebijakan dan mengeluarkan
penetapan yang menyatakan berlakunya beberapa mata uang sebagai tanda
pembayaran yang sah di wilayah RI, yaitu: mata uang De Javansche Bank (ORI), mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang.
Masalah inflasi dan blokade ekonomi ini
menjadi sangat krusial sebab berhubungan langsung dengan kesejahteraan rakyat
pasca kemerdekaan. Untuk itu pada 25 Agustus
1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan moneter yang dikenal dengan nama sanering dengan
cara sebagai berikut (Kanumoyoso, 2001: 70) :
1.
Penurunan nilai uang
kertas Rp 500,- dan Rp 1000,- menjadi Rp 50,- dan Rp 100,-
2.
Pembekuan sebagian dari
simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) yaitu sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000 untuk setiap
simpanan dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi
simpanan jangka panjang oleh pemerintah.
Kebijakan sanering merupakan tindakan
moneter yang penting dilakukan oleh pemerintah secara sepihak untuk mengatasi
inflasi. Bagi pemerintah kebijakan sanering dinilai berhasil mendatangkan keuntungan sekitar Rp 8.264 juta. Namun di lain
sisi, masalah inflasi ini tetap menjadi bahaya besar bagi pemerintah rakyat Indonesia.
Dalam Djoened Poesponegoro & Notosusanto (1993: 174) dijelaskan bahwa kebijakan sanering dapat dikatakan belum berhasil secara maksimal, terbukti dengan masih tingginya tingkat inflasi di Indonesia. Usaha pemerintah untuk mengatasi kesulitan moneter selanjutnya adalah melakukan pinjaman nasional. Dengan persetujuan dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Menteri Keuangan Ir. Surachman melaksanakan pinjaman itu direncanakan akan meliputi Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), yang dibagi atas dua tahap. Pinjaman akan dibayar kembali selambat-lambatnya dalam waktu 40 tahun. Pada bulan Juli 1946 seluruh penduduk Jawa dan Madura diharuskan menyetor uangnya kepada Bank Tabungan Pos dan rumah-rumah pegadaian. Pinjaman nasional tahap pertama berhasil mengumpulkan uang sejumlah Rp 500.000.000,- Pelaksanaan pinjaman ini dinilai mencapai sukses. Sukses yang dicapai oleh pemerintah itu dapat dijadikan ukuran bagi dukungan rakyat. Tanpa dukungan dan kesadaran rakyat yang tinggi semacam itu pemerintah pasti akan mengalami kebangkrutan. Ditinjau dari segi politik, sukses ini menunjukkan kelirunya perhitungan pihak Belanda mengenai kekuatan intern Republik.
Kesulitan keuangan pemerintah RI belum lagi teratasi, pihak serikat di bawah Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford, Panglima AFNEI yang baru, mempermaklumkan berlakunya uang baru di wilayah yang diduduki serikat. Uang baru itu dikenal sebagai uang NICA. Uang NICA ini dimaksudkan untuk mengganti mata uang Jepang yang nilainya sudah sangat menurun. Kurs ditentukan 3% yaitu setiap f1. 1,- uang Jepang dinilai sama dengan 3 sen uang NICA. Maklumat penggantian diumumkan sejak tanggal 6 Maret 1946. Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir memperoleh tindakan Panglima AFNEI itu, karena terang-terangan serikat melanggar persetujuan yang telah disepakati bersama. Dalam persetujuan itu dinyatakan bahwa selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak akan dikeluarkan mata uang baru untuk menghindari kekacauan di bidang ekonomi dan keuangan. Untuk menghadapi tindakan serikat itu pemerintah mengingatkan kepada masyarakat bahwa di wilayah RI hanya berlaku tiga macam mata uang sebagaimana yang telah diumumkan oleh pemerintah pada 1 Oktober 1945. Penduduk tidak dibenarkan untuk mempergunakan mata uang NICA sebagai alat pembayar, karena tindakan serikat itu dianggap merupakan bagian dalam rangkaian usaha untuk merongrong ketahanan nasional RI di bidang ekonomi dan keuangan.
Berbagai kebijakan
moneter telah ditempuh oleh pemerintah namun belum dapat mengatasi inflasi yang
semakin tinggi. Inflasi disebabkan oleh banyaknya jenis mata uang yang beredar
yaitu mata uang Jepang, dan mata uang NICA (Belanda). Jumlah uang Jepang pada
waktu itu diperkirakan 4 milyar rupiah (Pranoto, 2001: 156). Kebijakan pertama
yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam mengisi kekurangan anggaran
pemerintah dengan mencetak Oeng republik Indonesia (ORI) untuk mengganti uang Jepang
dan uang NICA. Oeang Republik Indonesia (ORI) adalah uang kertas pertama kali
dikeluarkan pemerintah RI melalui De Javansche Bank. Uang ini dikeluarkan untuk
menggantikan uang Hindia Belanda dan uang Jepang yang masih berlaku sebagai
alat pembayaran yang sah pada waktu RI berdiri.
ORI secara resmi
diterbitkan pada tanggal 30 Oktober 1946, yang didahului oleh pidato Wakil
Presiden Moh. Hatta lewat RRI pada tanggal 29 Oktober 1946 (Pranoto, 2001: 170).
Sebagai dasar nilai ORI ditetapkan 10 rupiah ORI sama dengan harga emas murni
seberat 5 gram. Sementara dasar penukarannya ditetapkan 50 rupiah uang Jepang
sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Jawa dan Madura, sedangkan dasar
penukaran ORI di luar Jawa dan Madura adalah 100 rupiah uang Jepang dengan 1
rupiah uang ORI. Perbandingan nilai tukar uang Jepang dengan rupiah didasarkan
pada perbandingan peredaran uang dan penghidupan sehari-hari. Mata uang ORI
belum dapat diedarkan secara merata di seluruh Indonesia maka pada tahun 1947 beberapa daerah di Sumatra mengeluarkan jenis uang
sendiri. Seperti ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi Sumatra), URISU
(Oeang RI Sumatra Utara), ORIDJA (Oeang RI Daerah Djambi). URIDA (Oeang RI
Daerah Aceh), ORITA (Oeang RI Daerah Tapanuli), Oeang Mandat yang dikeluarkan
Dewan Pertahanan Sumatra Selatan), dan ORIDAB (Uang RI Daerah Banten). Jenis-jenis
uang tersebut baru ditarik kembali dari peredaran bersama-sama dengan ORI pada
Maret 1950 setelah dikeluarkan jenis uang baru yang berlaku di seluruh Indonesia.
Rakyat diberkan 1
rupiah ORI per orang dengan maksud agar rakyat tidak dirugikan. Selain itu,
ketentuan itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada waktu itu setiap orang
mempunyai 50 rupiah uang Jepang. Pemberian uang satu rupiah ORI kepada setiap
penduduk mempunyai nilai moral yang besar. Uang itu merupakan simbol yang memperkuat
kedudukan RI baik di dalam dan luar negeri. Mengenai ORI, Menteri Keuangan
Syarifudin Prawiranegara mengatakan bahwa mula-mula uang itu dimaksudkan
sebagai atribut negara merdeka dan berdaulat, namun dari segi moral mempunyai
arti sangat besar, yaitu sebagai alat perjuangan dalam situasi revolusi. ORI
mempersatukan rakyat Indonesia dalam negara kesatuan untuk berjuang menegakkan
kemerdekaan. Dengan kata lain, ORI membiayai pemerintah RI dan sekaligus
membiayai revolusi.
Dengan kondisi
yang serba sulit, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia guna
memperbaiki perekonomian pasca kemerdekaan. Salah satu tindakan serius
pemerintah untuk mengatasi masalah perekonomian adalah Presiden Soekarno
membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi pada tanggal 12 April 1947 (Esmara dan
Cahyono dalam Kanumoyoso, 2001: 10). Panitia Pemikir
ekonomi dipimpin oleh wakil presiden Mohammad Hatta dengan dr. A.K Gani sebagai
wakilnya. Salah satu rencana ekonomi yang berhasil disusun adalah Plan Mengatur Ekonomi Indonesia.
Panitia pemikir ini dibagi atas delapan bagian yang mempelajari masalah ekonomi
yang mendesak pada waktu itu (Djoened Poesponegoro & Notosusanto, 1993:
182).
1. Masalah
ekonomi umum
2. Masalah
perkebunan
3. Masalah
industri, pertambangan dan minyak bumi
4. Masalah
hak milik asing
5. Masalah
keuangan
6. Masalah
listrik, kereta api dan trem
7. Masalah
perburuhan
8. Masalah-masalah
di daerah pendudukan Belanda.
Panitia pemikir
ini kemudian menghasilkan dasar pokok dari Rancangan Ekonomi Indonesia.
Rancangan ini berisi program pembangunan jangka panjang, dengan tujuan untuk
memperbesar dan menyebarkan kemakmuran rakyat secara merata. Strategi utamanya
yaitu dengan mengintensifkan usaha produksi dalam negeri, meningkatkan
kesejahteraan hidup, mempertinggi kecakapan dan kecerdasan rakyat dan meningkatkan
hubungan luar negeri.
Pemerintah yang
dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta melaksanakan juga tindakan yang realistis, yaitu
rasionalisasi. Rasionalisasi itu meliputi penyempurnaan administrasi negara, angkatan perang
dan aparat ekonomi. Sejumlah satuan angkatan perang dan lasykar yang menjadi
beban pembiayaan pemerintah, dikurangi secara drastis. Tenaga-tenaga bekas
angkatan perang dan lasykar-lasykar akan disalurkan kepada bidang yang
produktif dan diurus oleh Kementerian Pembangunan dan Pemuda.
Karena dasar
ekonomi kita adalah produksi petani, maka bidang ini akan dipergiat kembali.
Dari Menteri Urusan Bahan Makanan Kasimo diturunkan Rencana Produksi Tiga Tahun
1948-1950 atau terkenal dengan Plan
Kasimo yang pada dasarnya adalah usaha swasembada pangan dengan petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Kasimo menyarankan agar menanami tanah-tanah yang
kosong di Sumatera Timur seluas 281.277 ha. Di jawa diadakan intensifikasi
dengan menanam bibit padi unggul. Hewan yang memegang peranan penting dalam produksi
pangan dipelihara sebaik-baiknya, dalam arti pencegahan penyembelihan dan
penggunaan yang kurang perlu. Sensus hewan yang harus dilaksanakan. Di setiap
desa dibentuk kebun-kebun bibit untuk memberikan bibit yang baik bagi rakyat.
Tidak ketinggalan oleh Kasimo juga disarankan dilaksanakannya transmigrasi.
Dengan
diterapkannya berbagai bentuk kebijakan ekonomi, pemerintah telah menunjukkan
suatu usaha besar untuk mempertahankan negara Indonesia yang baru berdiri. Ekonomi
revolusi yang pas-pasan dan mungkin malah kurang dari batas kewajaran dapat
dianggap sebagai ekonomi yang nyaris telanjang. Akan tetapi dengan berbagai
upaya dan kiat untuk survive dalam suasana revolusi maka kehidupan yang
pas-pasan itu bisa menyelamatkan diri sampai usai revolusi fisik. Ini semua
berkat model “ekonomi sarung” yang sebenarnya adalah ketidakmampuan sarung
menutup tubuh, kalau ditarik ke atas, bagian bawah kedinginan, sebaliknya bila
ditarik ke bawah
yang atas kedinginan. Hal ini berkat usaha pemerintah Indonesia yang sejak awal
berusaha mengatasi berbagai permasalahan ekonomi dengan silih berganti
menerapkan kebijakan moneter. Namun demikian lewat ekonomi ini bangsa Indonesia
mampu bertahan dan mengusir kembalinya Belanda (Pranoto, 2001: 177).
Kondisi
Perekonomian Indonesia pada Masa
Nasionalisasi Ekonomi (1950-1959)
Pada masa revolusi negara Indonesia
masih berkutat pada masalah pengakuan kedaulatan dari negara lain terutama Belanda
yang masih saja berniat kembali menjajah Indonesia. Di tengah kondisi serba
sulit para pemimpin pemerintahan berusaha keras mempertahankan kedaulatan
Republik Indonesia sampai akhirnya di tahun 1949 melalui Konfrensi Meja Bundar
(KMB), Belanda mengakui
kedaulatan negara Indonesia walaupun dengan konsekuensi negara Indonesia menjadi
negara serikat (Ricklefs, 2008: 345). Langkah awal negara Indonesia sebagai
suatu negara yang benar-benar merdeka dapat dikatakan bermula dari terwujudnya
KMB, sebab di tahun 1950 Indonesia
telah kembali menjadi satu kesatuan yaitu NKRI. Pasca pengakuan kedaulatan dan kembali
menjadi NKRI, masalah yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks, terutama
dalam bidang ekonomi yang sejak awal merdeka pun belum stabil dan masih
didominasi oleh asing. Hal itu ditandai dengan meningkatnya utang negara dan
meningginya tingkat inflasi. Utang Indonesia meningkat karena Ir. Surachman
(selaku Menteri Keuangan saat itu) mencari pinjaman ke luar negeri untuk
mengatasi masalah keuangan negara. Sementara itu, tingkat inflasi Indonesia
meninggi karena saat itu barang-barang yang tersedia di pasar tidak dapat
mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibatnya, harga barang-barang kebutuhan naik.
Pada masa awal
pengakuan kedaulatan,
modal asing masih kuat menguasai perekonomian Belanda. Perusahaan-perusahaan
asing masih tetap beroperasi untuk itu pada masa pemerintahan Kabinet Natsir
(September 1950-April 1951) para ekonom menggagas untuk mengubah struktur
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional melalui gerakan konfrontasi ekonomi
(Dumairy, 1996: 15). Salah satu tokoh ekonom itu adalah Sumitro
Djoyohadikusumo. Ia berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus lekas ditumbuhkan
kelas pengusaha. Pengusaha yang bermodal lemah harus diberi bantuan modal.
Program ini dikenal dengan gerakan ekonomi Program Benteng yang dalam pandangan
Sumitro ditujukan untuk menguarangi dominasi perusahaan-perusahaan Belanda
khususnya The Big Five (Djojohadikusumo dalam Kanumoyoso, 2001: 29).
Perusahaan-perusahaan Belanda tersebut dapat menguasai perdagangan di Indonesia
karena keunggulan manajemen dan jaringan pemasaran ke seluruh pelosok Indonesia.
Salah satu cara pemerintah Indonesia untuk mengurangi dominasi ini yaitu dengan
Program Benteng. Program Benteng dilaksanakan untuk mengembangkan jiwa wirausaha rakyat pribumi dan meletakkan
kegiatan ekonomi yang penting di bawah
kontrol nasional. Pada tahun 1950,
pemerintah memperkenalkan program Benteng yang memberikan izin-izin dan kredit
impor kepada importir pribumi (Linblad, 2002: 377).
Program ini mulai
dirasakan manfaat dan hasilnya pada pertengahan tahun 1950-an. Sekitar 70 %
perdagangan impor Indonesia ditangani oleh para pengusaha Indonesia. Program
benteng fokus pada pengamanan kontrol nasional atas perdagangan impor. Sektor
ini mendapat perhatian besar dari pemerintah dikarenakan jumlah modal dan
sumber-sumber daya perusahaan yang diperlukan relatif kecil dan dibanding
dengan usaha manufaktur lainnya. Diharapkan melalui perdagangan impor ini para
pengusaha pribumi lambat laun akan mampu mengakumulasi modal yang cukup untuk
masuk ke sektor-sektor lain (Robinson dalam Linblad, 2002: 377).
Di atas kertas
Program Benteng ini terlihat memiliki prospek yang baik guna membangun ekonomi Indonesia
namun dalam prakteknya di lapangan banyak masalah-masalah yang muncul. Misalnya
adanya importir gadungan yakni orang yang berpura-pura menjadi importir sah
yang mengurus izin impor guna mendapatkan pengalaman dan keahlian dengan
melakukan perdagangan impor sendiri, menjual izin-izin praktek mereka kepada
importir yang sebenarnya dan sebagian besar orang China. Akibatnya jumlah importir
yang terdaftar dipotong dari sekitar 4300 menjadi 2000 (Burger dalam Linblad, 2002:
379).
Bukan hanya masalah mengenai Program Benteng
yang tidak berjalan maksimal, namun masalah lain muncul yaitu terjadinya
ketimpangan antara pusat dan daerah. Kurang dari setahun setelah penyerahan
kedaulatan, ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat mulai tampak (Kahin
dan Kahin dalam Kanumoyoso, 2001: 17). Pemerintah dianggap
telah gagal dalam mengambil tindakan-tindakan efektif untuk mengembangkan
perekonomian di luar
Jawa. Perkembangan dari situasi tersebut adalah munculnya berbagai tuntutan
untuk memperoleh otonomi daerah yang lebih besar, namun protes ini tidak
digubris oleh pemerintah pusat. Ketegangan ini akhirnya berujung pada
pergolakan daerah yang dikenal dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Semesta Alam (PERMESTA) di Sulawesi, yang nantinya semakin
melemahkan stabilitas politik-ekonomi Indonesia walaupun akhirnya
gerakan-gerakan separatis ini dapat ditumpas oleh pemerintah (Kanumoyoso, 2001: 18).
Masalah dominasi perusahaan-perusahan Belanda belum mampu sepenuhnya diatasi oleh pemerintah Indonesia. Hal ini pun menjadi salah satu tugas berat bagi kabinet-kabinet yang silih berganti berkuasa pada saat itu. Telah dijelaskan di atas mengenai perbedaan pandangan tentang perekonomian Indonesia, akhirnya pada dekade 1950-an tuntutan-tuntutan yang bercorak nasionalis terus meraih kekuatan politis terutama karena dominasi modal Belanda dalam sektor ekonomi terus berlanjut. Salah satu jalan keluar yang dipilih untuk mengatasi dominasi perusahaan Belanda ialah dengan melakukan nasionalisasi. Pada masa pemerintahan kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952) mencatat beberapa hal yang penting dalam sejarah perekonomian Indonesia. Diantaranya adalah terwujudnya nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia.(Dumairy, 1996: 20). Sebenarnya ketika terjadi Konggres Meja Bundar (KMB) sudah disepakati bahwa tugas Bank sirkulasi dan Bank sentral diserahkan kepada De Javasche Bank. Selain itu konflik Indonesia-Belanda mengenai masalah Irian Barat juga semakin meruncing. Dari masalah Irian Barat inilah, langkah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda berawal. Proses Nasionalisasi De Javasche Bank secara resmi diumumkan dalam Undang-undang tentang Nasionalisasi DJB pada tanggal 15 Desember 1951 (Kanumoyoso, 2001: 34)
Selain
menasionalisasi De Javasche Bank, pemerintah juga mendirikan beberapa
perusahaan negara
dan mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang memiliki usaha terkait
kepentingan umum. Secara hukum sebelum diberlakukan Undang-undang tentang
Nasionalisasi (Undang-Undang No.86 Tahun 1958),
pengambilalihan milik asing di Indonesia diatur dalam Onteigeningsordonanntie (Peraturan penyitaan hak milik) pada tahun
1920. Selain mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda, tindakan pemerintah
secara tegas yang membela kepentingan nasional. Pada masa pemerintahan Kabinet
Burhanuddin harahap dilakukan dengan pembatalan perjanjian KMB pada tanggal 21
Februari 1956. Dengan ini kedudukan ekonomi Belanda yang istimewa berakhir dan
pembayaran hutang Belanda yang harus ditanggung pemerintah sesuai dengan hasil
KMB juga ditangguhkan (Kahin dan Kahin dalam Kanumoyoso, 2001: 36).
Pemerintahan Indonesia
berada di bawah
kendali Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953) menggantikan Kabinet Sukiman.
Kabinet Wilopo dalam kebijakan ekonominya mengenalkan konsep anggaran berimbang
(balance budget) dalam APBN. Impor
bukan saja diperketat, tetapi juga diharuskan melakukan pembayaran di muka. Pekerjaan ekonomi
besar yang dilakukan semasa Wilopo menjabat adalah “rasionalisasi” angkatan bersenjata
melalui modernisasi dan pengurangan personil. Prestasi ekonomi lainnya adalah
keberhasilan menekan pengeluaran pemerintah lebih dari 25% pengeluaran total
pada masa sebelumnya. Namun, cadangan devisa merosot tajam (Dumairy, 1996: 15).
Strategi pembangunan
ekonomi yang ditempuh oleh Wilopo juga tidak berbeda dengan kabinet-kabinet
sebelumnya. Kabinet Wilopo tetap melaksanakan Rencana Urgensi Perekonomian yang
dirintis semasa Kabinet Natsir, termasuk Program Benteng yang merupakan suatu
upaya untuk membentuk kelas menengah nasional dengan jalan membatasi alokasi
impor hanya kepada pengusaha-pengusaha nasional. Program Benteng ini merupakan
salah satu bagian dari RUP yang bersifat diskriminasi-rasial. Efek dari program
ini dirasakan oleh para pengusaha (terutama importer) nonpribumi sejak
pertengahan tahun 1953, akhir masa kerja Wilopo yang kemudian digantikan Ali
Sastroamidjojo (Ali I).
Menurut Kanumoyoso
(2001: 12), bahwa pada masa awal
kekuasaan tiga kabinet yang awal pasca kembali ke negara kesatuan (1950-1953)
karakter politik ekonomi yang diterapkan lebih menitikberatkan pada
Rasionalitas dan lebih Realisitis dalam merencanakan kebijakan. Upaya
Rasionalitas dan Realitas terutama berusaha meningkatkan efisiensi dengan
menekan pengeluaran dan mencoba memperkecil anggaran Belanja negara secara
Realistis.
Masa pemerintahan
kabinet Ali Sastroamidjojo (Juli 1953-Juli 1955) diwarnai oleh kondisi defisit
baik dalam anggaran belanja maupun dalam neraca pembayaran. Ali ingin mengubah
struktur distribusi devisa (yang mana ketika itu menurut pendapatnya kurang cukup
melindungi importer pribumi) dengan cara membagi-bagikan lisensi impor kepada
orang-orang pribumi. Selama sekitar lima bulan ia menjabat, jumlah pengusaha
nasional yang tergolong kedalam ”importer Banteng” membengkak luar biasa, dari
700 menajdi 4.300 importer (Dumairy, 1996: 16). Pada masa kabinet Ali
Sastroamidjojo, terjadi Indonesianisasi perekonomian dengan memberikan dukungan
lebih bagi pengusaha pribumi. Namun, dalam prakteknya banyak
perusahaan-perusahan baru hanya merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuan
antara para pendukung pemerintah dan orang-orang Cina. Kebijakan ekonomi yang diterapkan
biasa disebut sistem “Ali-Baba”, di mana
seorang Indonesia (Ali) mewakili seorang pengusaha Cina (Baba) yang merupakan
pemilik perusahaan tersebut. Oleh karena itu secara umum kebijakan ekonomi yang
diterapkan kabinet Ali sastroamidjojo dikatakan gagal sebab banyak terjadi
penyelewengan dan pengusaha pribumi tetap yang dirugikan (Ricklefs, 2008: 513).
Kabinet kelima selama masa
Demokrasi Parlementer sebagai pengganti kabinet Ali Sastroamidjodjo adalah
kabinet Burhanuddin harahap (Agustus 1955-Maret 1956). Kabinet ini dikenal
dengan nama Kabinet Interim yang mengendalikan pemerintah sampai pemilihan
umum, dan sampai terbentuknya parlemen baru hasil pemilihan umum tersebut.
Tindakan ekonomi penting yang dilakukan kabinet Burhanuddin antara lain liberalisasi
impor (politik rasialisme terhadap importer harus dihapuskan). Pada saat yang
sama, kebijakkan pembayaran di muka atas impor ditingkatkan. Laju uang beredar
berhasil ditekan, berkurang sekitar 5 % (senilai Rp 600 juta ketika itu).
Harga-harga ekspor-impor yang pada paruh pertama tahun 1955 naik hampir 13%, menjadi turun hingga 15
%. Nilai rupiah bahkan sempat naik sekitar 8% terhadap emas (Dumairy, 1996: 17).
Kabinet Burhanuddin dianggap berhasil dan konsisten dalam melaksankan RUP.
Pembangunan ekonomi relatif stabil berkat perluasan pembentukan modal melalui
penyempurnaan program Benteng, yakni dengan membentuk Dewan Alat-Alat Pembayaran
Luar Negeri. Modal asing tetap diijinkan, bersamaan dengan pemberian bantuan
yang besar kepada pengusaha-penguasaha pribumi. Setelah kabinet Burhanuddin berakhir,
berdirilah kabinet Ali II (April 1955-Maret 1957).
Kabinet Ali II merupakan kabinet pertama hasil dari pemilihan umum. Kabinet
Ali II nyaris tidak melakukan apa-apa dalam bidang perekonomian. Pemerintah
saat itu sibuk menghadapi ketidakpuasan yang bermunculan dari luar Jawa. Ketegangan
antara pusat dan daerah yang pernah muncul pada masa awal Demokrasi Parlementer
mencapai puncaknya pada tahun 1958,
menyebabkan pemerintah Indonesia mengambil tindakan militer yang memerlukan
pengeluaran uang secara besar-besaran. Pengeluaran ini menghasilkan kekurangan
pada anggaran belanja negara
dan akhirnya kembali menciptakan inflasi. Sementara itu, secara eksternal
perkembangan ekonomi Indonesia yang buruk juga terpengaruh akan adanya keadaan
resesi yang melanda Amerika Serikat dan Eropa Barat (Kanumoyoso, 2001: 59). Hal ini meyebabkan Indonesia
mengalami kemunduran karena turunnya harga-harga produk ekspor dan pasarannya
semakin berkurang. Inilah yang menyebabkan pendapatan negara dari ekspor
menurun tajam.
Pada tahun 1957, Program Banteng resmi
diberhentikan oleh Presiden karena tidak menunjukkan hasil yang signifikan bagi
perekonomian Indonesia. Namun sebelum diberhentikan telah dirancang sebuah
rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun tahun 1956-1960. Konsep
pembangunan lima tahun (RLT) mulai dirancang pada tahun 1952 oleh Biro
Perancang Nasional yang dipimpin oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja. Selesai
dirumuskan pada bulan Mei 1956, dan kemudian disetujui pada bulan September
1956. Berbeda dengan RUP yang bersifat sangat umum, RLT bersifat lebih terinci,
eksplisit, dan teknis opersional. Rencana ini bertujuan utama untuk mendorong
industri dasar, jasa-jasa pelayanan umum dan sektor publik. Usaha tersebut
diharapkan dapat merangsang penanaman modal oleh kalangan swasta.
Kondisi
perekonomian Indonesia yang masih belum stabil diperburuk dengan adanya dampak
negatif dari upaya pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang pada
awalnya dinilai sangat menguntungkan. Pengambilalihan ekonomi ini menyebabkan
kekacauan ekonomi karena dilakukan tanpa suatu persiapan program yang
terencana. Pemerintah tidak memperkirakan efek domino yang akan terjadi bila
perusahaan tersebut diambil alih, mulai dari masalah kosongnya tenaga ahli yang
sebelumnya diisi oleh orang-orang Belanda. Penurunan kinerja dan kemampuan
produksi perusahaan-perusahaan yang telah di nasionalisasi menciptakan
kemandegan dalam sektor perniagaan.
Semua permasalahan tersebut masih ditambah lagi dengan adanya protes keras dari para pengusaha Belanda
yang perusahaannya telah diambil alih. Protes tersebut dialamatkan langsung
pada Presiden Soekarno dan Perdana menteri Djuanda, para pengusaha Belanda
menuntut agar hak miliknya dipulihkan dan mereka diberikan ganti rugi.
Kesulitan-kesulitan ekonomi tersebut pada akhirnya berdampak langsung pada
kondisi perekonomian Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia memburuk dengan
defisitnya neraca anggaran belanja
negara, diperkirakan sebesar Rp 9.700 juta dalam tahun 1958 dan Rp 8.000 dalam
tahun 1959 (Kanumoyoso, 2001: 61). Guna mengatasi
keadaan chaos ekonomi pasca pengambilalihan
itu, maka pemerintah mulai mencanangkan pendirian
perusahaan-perusahaan baru milik negara yang diharapkan dapat berfungsi untuk
mengelola dan menjaga produktivitas perusahaan tersebut. Memang dalam
kenyataannya harapan ini jauh dari kata berhasil, meskipun demikian
nasionalisasi telah megubah tatanan ekonomi secara mendasar. Sejak pemerintah
mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda, peranan pemerintah dalam
mengendalikan sektor ekonomi semakin besar.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sistem perekonomian Indonesia
pasca kemerdekaan hingga tahun 1950-an, mengalami pasang surut. Mulai dari
inflasi dan blokade, kemudian ditempuh berbagai macam solusi mulai dari
sanering hingga program benteng dan pengambilalihan perusahaan-perusahaan
Belanda, yang juga di satu masa mengalami keberhasilan, namun di masa yang lain
mengalami kegagalan. Sempat pada hampir akhir-akhir tahun 1950-an, tepatnya
pada masa kabinet Burhanuddin Harahap, sistem perekonomian Indonesia mulai
membaik dengan penyempurnaan program bentengnya. Namun, pada pemerintahan
selanjutnya, perekonomian kembali mengalami defisit, terutama pada masa kabinet
Djuanda. Kabinet ini bisa dikatakan titik akhir dari masa nasionalisasi ekonomi
Indonesia. Namun, justru di akhir pemerintahan ini, Indonesia belum juga
menemukan titik terang mengenai solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan
ekonomi yang silih berganti menyerbu Indonesia.
Dengan
kata lain, berbagai program pembangunan ekonomi yang telah
dilakukan para penguasa sejak awal kemerdekaan hingga berakhirnya sistem
Demokrasi Parlementer dapat dikatakan belum membuahkan hasil yang signifikan. Hal
ini dikarenakan kurang berpengalamannya aparatur negara dalam mengawasi
berbagai kebijakan tersebut secara Birokratis yang berujung pada sering
gagalnya suatu kebijakan. Setiap pemerintahan yang silih berganti berusaha mewujudkan struktur perekonomian secepatnya,
namun jelas pada periode ini jalan perubahan struktur ekonomi lebih bersifat
evolusioner ketimbang Revolusioner.
.
Komentar
Posting Komentar